Tangerang, IDN Times - Terik sinar matahari siang itu membuat kerongkonganku terasa kering. Segelas es kopi pas rasanya untuk mengobati rasa hausku, sekaligus untuk menemaniku menunggu teman baruku di kedai kopi.
Sudah dua jam berlalu, tapi Jems belum juga tampak batang hidungnya. Aku kembali memesan menu andalan kedai kopi yang terletak di pusat perbelanjaan Karawaci, Tangerang, Banten, itu. Sambil menunggu pesanan kopi datang, aku bolak balik melihat layar telepon genggamku.
Tak lama berselang, notifikasi pesan muncul di layar telepon genggamku. Ada pesan pendek dari Jems. Dia mengabarkan akan datang terlambat. "Halo kak, maaf ya agak terlambat, 15 menit lagi aku undurin," tulis Jems, dalam pesan pendek.
Sabtu 31 Agustus 2019 menjadi hari yang panjang buat ku. Aku harus bersabar menunggu Jems datang hingga berjam-jam. Aku kembali menyeruput es kopi yang sudah diantar pramusaji yang kedua kalinya.
Sudah empat jam berlalu, namun Jems belum juga datang. Aku tetap bersabar menunggu sambil memeriksa akun media sosialku di telepon pintarku. Waktu menunjukkan pukul 15.50 WIB. Aku mencoba menghubungi Jems lagi melalui pesan pendek. Tapi tak ada respons.
Selang 10 menit berlalu, Jems membalas pesanku. Dia mengabarkan dirinya tersesat dan kehabisan pulsa internet. Praktis, nomor WhatsApp Jems tidak bisa dihubungi lagi.
Melalui sambungan telepon, Jems meminta maaf karena datang terlambat. Dia mendeskripsikan dirinya supaya aku mudah mengenali saat pertemuan. Jems katanya memakai topi hitam dan menggendong ransel.
Maklum, ini pertemuan pertama kali aku dengan Jems, setelah kami beberapa kali berkomunikasi melalui media sosial. Aku dapat nomor telepon Jems dari temanku, yang kebetulan kenal dengan dia.
Jems adalah mahasiswa asal Papua yang merantau ke Pulau Jawa untuk menimba ilmu. Menjadi seorang musisi terkenal adalah impiannya. Untuk menggapai mimpinya, Jems rela meninggalkan keluarganya di Bumi Cendrawasih.
Pucuk di cinta ulam tiba. Tepat pukul 16.00 WIB, Jems akhirnya tiba di kedai kopi. Lega rasanya. Ia datang bersama seorang teman.
"Halo, kak," sapa Jems.
"Saya Jems, oh ini kakak yang hubungi saya," lanjut dia, dengan tersenyum ramah.
"Tadi saya sudah ke sini, tapi saya bingung tempatnya di mana. Saya kira di lantai bawah, tapi tidak ada. Terus saya tadi beli dulu pulsa, soalnya udah habis," kata Jems, merasa bersalah.
Aku mempersilakan Jems dan temannya duduk serta memesan minuman. Tapi hanya temanya yang memesan minuman. Sepertinya Jems agak sungkan. Tanpa basa-basi, kami langsung mulai berdiskusi soal Papua. Seperti tujuan awal pertemuan ini.
Jems mengawali diskusi dengan cerita tentang bagaimana kehidupan dirinya hingga suasana tempat kelahirannya di Timika, sering terjadi pergejolakan.
"Belom lama setahun yang lalu ada yang di PHK (Putus Hubungan Kerja), ada juga yang ricuh antar suku. Di sana ada tujuh suku (sering konflik) tapi mereka sama mereka aja. Gak membabi buta. Setelah itu, baru nih masalah kemarin kasus mahasiswa di Surabaya," ungkap Jems, dengan logat bahasa Papua.
Tak hanya ramah dan hangat, Jems juga pandai bergaul. Pria kelahiran Timika 2000 itu, memiliki banyak teman dari berbagai suku. Terbuka dengan semua orang, termasuk orang yang baru ia kenal, membuat pria bernama lengkap Jems Toto itu mudah membaur dengan orang lain.
"Oh ya. Kak kenalin temen aku dari Kalimantan Barat," ujar Jems, sambil menunjukkan tangannya ke arah temannya.
Jems seolah mematahkan anggapan bahwa orang Papua tertutup dengan orang selain Bumi Cendrawasih. Bahkan, Jems punya banyak teman asal Pulau Jawa.
"Teman-teman aku sih banyaknya orang Jawa. Ini beneran aku gak tipu, gak bohong. Kalau kalian ada perlu apa-apa, aku bantu. Tapi kalau aku gak bisa bantu, aku gak mau lepas tangan," tutur dia.
Jems memang tidak memungkiri, ada beberapa masyarakat Papua yang tidak menyukai orang Jawa, karena unsur-unsur tertentu. Tapi dia tak setuju anggapan semua orang Papua benci dengan orang Jawa atau suku lain. Itu keliru.
Jems menempuh pendidikan strata satu di Universitas Harvest International Theological Seminary. Jurusan musik menjadi pilihannya, untuk menggapai impiannya. Dia punya berbagai alasan, mengapa memilih Pulau Jawa sebagai tempat menimba ilmu, di antaranya untuk mencari pengalaman beru dan membuka wawasan.
"Sebenernya aku gak tahu juga kenapa bisa tiba di sini, mungkin Tuhan sudah atur semua. Padahal dari Timika aku mau kuliahnya di Bandung, tapi karena pendaftarannya lama jadi gak betah," ungkap Jems, sambil memeluk ranselnya.
Jems tak tahan harus menunggu lama-lama. Ia ingin cepat-cepat kuliah. Ia bertanya pada ibundanya untuk mengambil jurusan musik yang sudah lama ia dambakan, dan sang ibu akhirnya mendukung keinginannya. Jems kegirangan.
"Mama, saya sudah bosan sekali menunggu-nunggu kaya begini," kenang Jems, saat merengek pada ibunya.
Jems kembali melanjutkan obrolan tentang kehidupannya di tanah kelahirannya. Ia mengakui dirinya bukan sosok anak yang baik. Sebagai remaja yang penasaran dengan berbagai hal, tak jarang ia melampui batas-batas norma ada.
"Kehidupan kalau di Papua sih, aku orangnya terbuka, ya. Mau main sama siapa aja bebas, aku juga kadang minum dan merokok. Tentunya keduanya kejahatan-kejahatan," tutur dia, dengan mata berbinar.
Jems sadar, sikapnya selama ini berdampak buruk bagi kehidupan dan masa depannya. Sedangkan, dia yakin Tuhan menjamah kehidupannya untuk menjadi orang yang lebih baik.
Di sisi lain, Jems juga tidak mau mencoreng nama baik kedua orangtuanya sebagai tokoh di gereja. Dia tak mau kedua orangtuanya menjadi bahan cibiran masyarakat, hanya karena ulahnya. Ia tak mau terjerumus pada kenakalan remaja.
"Kita nya aja yang terjerumus (mabuk-mabukan dan merokok). Ada oknum-oknum tertentu yang menjerumuskan kita. Karena di sana, minuman itu masih bebas. Setiap manusia punya penasaran, nah aku penasaran dengan itu, makannya aku coba," ujar Jems, tertawa.
Merantau ke Pulau Jawa, adalah pilihan terbaik bagi Jems, untuk mencari segudang pengalaman. Karena ia beranggapan pemikiran orang-orang di Papua berbeda dengan orang Jawa.
"Aku ke sini itu untuk buka pikiran juga sih, bukannya gak bisa di sana, tapi gimana ya, karena beda gitu. Makannya aku ke sini. Mau cari hal baru gitu, kalau aku di sana pikiran aku ya gitu-gitu aja, aku ke sini cari wawasan, ya pengalaman," ujar Jems, tersenyum.
Cerita pun mengalir seiring berjalannya waktu yang semakin sore. Suasana menjadi sedikit tegang, saat Jems mengungkapkan kasus penangkapan mahasiswa Papua di Surabaya. Cerita ini membuat dia kecewa. Jems menganggap ada tindak rasisme dan diskriminasi.
"Untuk kejadian kemarin sih, aku sakit hati juga ya. Sakit hati sekali kak, sampai dibilang monyet," ucap Jems, dengan raut wajah sedih.
Jems sebagai pemuda Papua merasa sakit hati. Begitu juga suku-suku lain di kampung halamannya. Pihak keamanan yang seharusnya menjaga keamanan asrama, justru memaki-maki mahasiswa Papua.
"Kakak tahu gak yang berdiri di depan asrama itu? Anggota semua kan? Tugas mereka sebagai apa? Pengaman kan? Tapi kok mereka malah memicu gitu, tambah komporin. 'Anjing kamu, monyet, pemakan babi',” siapa yang gak sakit hati digituin kan?” ungkap dia.
Semerbak aroma biji kopi, membuat suasana obrolan sore itu semakin hangat. Jems terus bercerita. Aku lebih banyak mendengarkan dan bertanya.
Terus terang, Jems dan masyarakat Papua merasa geram karena ulah aparat yang bertindak semena-mena terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Saat peristiwa di Surabaya terjadi, dia memantau situasi melalui akun media sosial.
“Ketika kerusuhan itu terjadi, di sana ada anggota itu juga aku sempat ikutin di Instagram, satu pembicara dia bilang itu ada tahap-tahapnya untuk penyergapan gitu, ada enam tahap sih aku dengarnya,” ujar dia.
Jems mengakui, memang hal biasa terjadi peperangan antar suku hingga menyebabkan korban jiwa di Papua. Tetapi pihak keamanan harus tetap mengamankan sesuai prosedur yang ada. Jangan sampai ada kekerasan.
“Itu (peristiwa di Surabaya) menurut aku udah gak sesuai prosedur, kalau kaya gitu udah membabi buta lah,” ucap dia.
Di sisi lain, Jems berpendapat, melakukan demonstrasi menjadi hal yang wajar bagi negara penganut demokrasi. Dan pihak keamanan yang seharusnya melindungi rakyat, malah menjadikan bumerang. Jems menyesalkan itu.
“Mereka padahal gak ngapa-ngapain, gak ngelempar atau apa kan? Itu tuh langsung lempar gas air mata, seakan-akan kita itu kaya gimana gitu,” kata Jems, kesal.