Jakarta, IDN Times - Presiden Joko "Jokowi" Widodo telah memutuskan untuk menunda pengesahan beberapa pasal di dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Salah satunya menyangkut aborsi.
Pasal menyangkut aborsi ini juga menjadi perdebatan di publik pasalnya bagi perempuan yang melakukan perbuatan itu maka bisa dipidana. Apabila merujuk ke draf RKUHP di pasal 470 ayat 1 maka bisa terlihat berisi; "Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun." Uniknya ancaman hukuman bagi pelaku aborsi justru lebih lama dibandingkan pelaku tindak korupsi.
Di pasal 604 draf KUHP, tertulis pelaku korupsi dipidana dengan hukuman paling singkat dua tahun dan paling lama 20 tahun. Selain itu, bagi perempuan yang menjadi korban tindak pemerkosaan dan memilih menggugurkan bayinya, maka ia juga terancam kena pidana tersebut.
Menkum HAM Yasonna Laoly memiliki penjelasan khusus mengenai delik aborsi ini.
Namun, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yasonna Laoly mengklarifikasi delik aborsi dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Menurut dia, ancaman pemidaan bagi perbuatan aborsi sudah ada di dalam KUHP yang saat ini berlaku.
"Ancaman (hukuman penjaranya) berat 12 tahun," ujar Yasonna ketika memberikan keterangan pers pada Jumat (20/9).
Menurut menteri dari PDI Perjuangan itu, lamanya hukuman bagi pelaku aborsi di dalam draf RKUHP justru lebih ringan. Selain itu, bagi perempuan yang memilih menggugurkan janinnya karena merupakan hasil pemerkosaan tidak akan dijerat dengan pasal tersebut. Benarkah?