(Menlu Retno Marsudi bersama Menlu Arab Saudi Adel al-Jubeir) ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
“Jadi kita semua gak pernah menduga bahwa COVID-19 ini akan datang, dan ternyata datang dan gak cepat pergi, dua tahun kini suasana ini. Di awal Januari 2020, kita kasus pertama Maret 2020 diumumkan, di awal kita udah mulai berkalkulasi, ini kayaknya beneran bakal semakin memburuk. Setiap kali ada penyakit seperti ini kan pasti kita mikirnya vaksinnya apa? obatnya apa? Antinya apa? Oleh karena itu kemudian Presiden bicara bagaimana kita mendapatkan akses untuk mendapatkan vaksin yang secepat mungkin. Presiden minta agar kita dapat vaksin secepat mungkin, saat itu ya Allah, vaksinnya belum jelas, efikasinya semua belum jelas, produksinya kalau pun sudah produksi, produksinya kecil, diborong negara yang punya duit banyak, ujar Retno.
"Biasa kan mekanisme pasar, barang sedikit, yang minta banyak, berarti pada saat itu harga mahal. Di titik itu presiden mengatakan begini, kita harus lari duluan, cari akses, buka semua jalan, buka akses. Saya termasuk yang diberikan tugas oleh presiden, karena bagaimanapun network-nya sudah banyak untuk dunia, plus waktu itu dibantu oleh Menteri BUMN, juga Bu Menkeu yang punya networking yang bagus juga, kita gunakan, kemudian Pak Budi (Budi Gunadi Sadikin, yang waktu itu wakil menteri BUMN) ikut gerak semua dengan Kemkes waktu itu, jadi akhirnya kita punya akses, dan orang tanya kenapa kita pakai Sinovac?"
"Sekali lagi, situasi sangat dimanis, boleh dikatakan chaotic, kita ketok semua pintu, kebetulan yang membukakan pintu pertama, saya ingat betul antara lain adalah Sinovac dan Astra Zeneca. Oleh karena kita negosiasi dengan mereka untuk dapat akses vaksin, dan kita ingat, negara besar seperti Indonesia dengan penduduk lebih dari 270 juta itu gak gampang. Karena pasti yang kita perlukan jumlahnya besar sekali. Oleh karena itu yang pertama adalah Sinovac, kita juga dapat Astra Zeneca, tapi lately sekarang kita pilihannya sudah makin banyak, karena Pfizer ada, Moderna ada, Johnson & Johnson ada, Astra Zeneca, Sinovac, Sinopharm. Intinya yang menolong kita sampai di titik ini yang kalau kita lihat persentase vaksinasinya kita sudah melebihi target yang diberikan oleh WHO. Itu kenapa karena kita bergerak cepat, tentunya cepat itu bukan cepat yang ngawur, tetapi cepat yang kalkulatif. Semuanya kita kalkulasi, dan akhirnya kita memiliki akses untuk beberapa pengembang dan produsen vaksin. Itu kalau kita bicara tentang Indonesia,” cerita Retno.
Begitu pun, sebagai bagian dari negara anggota di dunia ini, menurut Retno pihaknya gak boleh hanya mikir Indonesia, oleh karena itu sejak awal Indonesia menyuarakan kesetaraan vaksin bagi semua negara.
“Vaksin itu juga harus harganya terjangkau, sehingga negara-negara itu bisa membeli vaksin, oleh karena itu setelah ada pemilihan dan sebagainya, Indonesia termasuk salah satu co-chair COVAX AMC Engagement. Intinya itu adalah forum di mana negara donor, negara berkembang semuanya jadi satu, mengumpulin dana untuk beli vaksin, kemudian negara-negara berkembang dan yang income-nya rendah diberikan vaksi secara gratis. Ternyata ini pengalaman kita ya, punya duit itu ternyata tidak bisa menyelesaikan semuanya," tuturnya.
"Jadi, di minggu kedua Desember 2021, saat saya memimpin rapat COVAC AMC Engangement, Group, dari jumlah uang kita sudah melebihi target, kita mengumpulkan 117 persen, tetapi dari segi delivery vaccine-nya, di titik awal minggu kedua Desember 2021 itu baru 53 persen dari target. Karena kan yang disuntik bukan duit, yang disuntik adalah vaksin. Kalau toh ada vaksinnya, bagaimana dokter dan naskesnya, ada vaksin, menuju vaksinasi ada proses juga. Vaksin yang diberikan kepada negara-negara penerima, belum tentu dilakukan vaksinasi. Kita bicara mengenai masalah logistik, infrastruktur, kapasitas dan lainnya. Sehingga kita ditambahkan lagi pada saat itu perlunya kampanye from vacccine to vaccination."
"Ini hal yang kompleks banget tapi saya senang karena diplomasi bisa berkontribusi di dalam situasi yang sangat penuh tantanggan. Gak pernah kebayang lah, diplomat, pasti pelajarannya terkait dengan perang, perdamaian, negosiasi dan sebagainya, tiba-tiba masuk pandemik, saya sampai hafal deh nama obat, nama vaksin, platformnya apa dan sebagainya. Saya bentuk tim khusus yang khusus mendalami masalah pandemik, jadi kita pantau kasus di negara lain, perkembangan dunia itu seperti apa untuk lessons and learnt bagi kita. Intinya kita senang diplomasi bisa berkomtribusi dalam situasi seperti itu,” jelas Retno.
Dia melanjutkan, “Dulu diplomasi dilihat kayak duduk di menara gading, jaraknya jauh, pakai bahasa-bahasa yang bagus. Tapi memang sekarang tuntutannya, tidak hanya untuk Indonesia, tetapi tuntutan diplomasi seluruh dunia, diplomasi harus membumi, mendatangkan hasil yang dirasakan oleh rakyat. Dan itulah semua ada hikmahnya, di tengah situasi yang sulit, ternyata diplomasi kita bisa bermain banyak mendatangkan diplomasi untuk rakyatnya."