Oleh Ari Susanto
Di Hari Kasih Sayang tahun ini, kami menghimpun kisah-kisah cinta nyata dari orang-orang biasa tanpa rekayasa. Semoga bisa menginspirasi pembaca untuk lebih percaya lagi pada kekuatan cinta.
SEMARANG, Indonesia—Maria Pratiwi Lepong nyaris kehilangan rasa percaya diri sejak belia. Postur tubuhnya yang subur akibat mengalami obesitas terasa bagai “kutukan” yang tak bisa dilepaskan dari hidupnya sampai ia menjelang dewasa.
Dengan bobot 90 kilogram dan tinggi 153 sentimeter di usia remaja, Maria tak bisa menyamarkan kelebihan berat badannya. Kejamnya industri mode dan kecantikan dengan beragam iklan yang membentuk gambaran bahwa cantik identik dengan ramping, perlahan membunuh harapannya akan pasangan hidup yang ideal kelak.
Anggapan bahwa perempuan gemuk bakal sulit jodoh dan sering menjadi bahan ejekan terus menghantuinya. Ia berusaha dengan segala upaya untuk membakar lemak, mulai dari mengonsumsi pil pelangsing, diet ketat membatasi kalori, hingga berlatih dengan instensitas berat di pusat kebugaran.
Angka timbangannya sempat turun hingga 30 kilogram, namun naik kembali dalam waktu singkat. Maria frustrasi atas segala cara menguruskan badan yang tak membuahkan hasil. Ia akhirnya tak mau lagi pusing dengan berat badannya. Soal laki-laki, ia hanya pasrah, meskipun belum satu pun yang tertarik padanya.
Usai menamatkan kuliah di jurusan gizi di sebuah universitas swasta di Jakarta, Maria pindah ke Nusa Tenggara Timur (NTT) dan menjadi dosen di Politeknik Kesehatan Kupang. Tak disangka, di sanalah ia pertama kali menemukan cintanya, Robinson Wadu.
“Saya sering berkeliling ke beberapa daerah di NTT yang memiliki banyak anak-anak dengan gizi buruk, termasuk di Soe. Di sana saya bertemu dengan dengannya,” kenang Maria.
Berawal dari perkenalan dan obrolan soal anak-anak dengan gizi buruk, keduanya saling bertukar telepon. Tak ada tanda-tanda saling suka, sampai suatu saat Roby–panggilan Robinson–mengungkapkan perasaannya pada Maria.
Mereka lalu menjalin hubungan sejak 2010. Roby yang juga berpostur tinggi-besar tak merasa terganggu dengan Maria yang juga berbadan tambun. Malahan, Roby melarang keras jika Maria ingin diet dan menguruskan badan demi mempercantik penampilannya untuk sang kekasih.
Maria bersyukur, Roby punya pandangan berbeda dari kebanyakan orang yang menganggap tubuh perempuan sebagai tolok ukur kecantikan dan keseksian. Roby adalah lelaki pertama yang tertarik pada Maria tanpa peduli ukuran lingkar pinggang.
“Saya menyukai Maria karena cerdas dan baik hati. Setiap obrolan kita selalu nyambung, sosok wanita yang saya idamkan ada semua pada dirinya. Dia akan tetap cantik tanpa harus kurus,” kata Roby.
Hubungan kedunya terpaksa terpisah oleh jarak, setelah Maria memutuskan untuk pindah ke Semarang dan aktif di kegiatan rohani. Ia bekerja di sekretariat Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Jawa Tengah.
Namun, ternyata Roby tak bisa jauh dari kekasihnya, sampai akhirnya harus menyusul ke Semarang tahun 2013. Keduanya lalu melanjutkan kuliah pascasarjana di Sekolah Tinggi Teologi Internasional Harvest hingga lulus bersama. Di sela waktu, Maria tetap bekerja di gereja, sementara Roby yang berbekal pendidikan ilmu hukum bekerja di sebuah perusahaan swasta di Semarang.
Kedekatan keduanya mendapat restu dari kedua pihak keluarga. Maria beberapa kali datang ke rumah orangtua Roby di Soe, sebaliknya Roby juga pernah bertemu dengan keluarga besar Maria di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Nyaris tak ada aral bagi keduanya untuk mengekalkan hubungan dalam ikatan perkawinan. Pada 2014, kedua keluarga besar bertemu dalam acara lamaran dan menyepakati untuk menikahkan anak-anak mereka pada medio April 2015.