Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Pemohon uji formil Perkara Nomor 83/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh lima mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta. Dalam sidang perbaikan permohonan, mereka sempat menambahkan pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 yang menjadi batu uji atau dasar pengujian permohonan, yaitu Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28 F, serta Pasal 28J.
Selain itu, para Pemohon juga menguraikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan secara tegas,
“Pembentuk Undang-Undang harus melakukan proses pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 dan UU 12/2011 (Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan/UU P3).”
Dengan demikian, para Pemohon menjelaskan, apabila Presiden selaku inisiator dalam pembentukan UU TNI tidak melaksanakan kewajibannya sesuai prosedur yang ditetapkan UU 12/2011, maka pembentukan undang-undang tersebut secara formil melanggar hukum dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, sehingga dapat dikualifikasikan sebagai cacat formil.
Kemudian, para Pemohon juga menambahkan argumentasi bahwa pembentukan UU TNI ini tidak memenuhi tiga pertimbangan agar seseorang dapat mengajukan pengujian formil karena unsur keterbukaan sebagaimana dijelaskan dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009. Adapun pertimbangan yang tidak dipenuhi dalam perumusan UU TNI adalah human dignity, accuracy, dan to protect legitimate expectation. Dengan dipenuhinya ketiga pertimbangan itu, maka hak konstitusional para Pemohon telah dilanggar dalam proses pembentukan dan perancangan UU TNI.
Dalam petitumnya para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan UU TNI tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD NRI Tahun 1945. Para Pemohon juga memohon kepada Mahkamah agar menyatakan UU TNI bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sementara dalam sidang pendahuluan, para Pemohon menilai proses legislasi UU TNI dilakukan secara eksklusif tanpa melibatkan publik sehingga apabila UU TNI ini berlaku dan prajurit militer diperbolehkan bekerja di ranah sipil, maka peluang lapangan kerja bagi para Pemohon makin berkurang dan makin sulit didapatkan.
“Para Pemohon yang saat ini masih menjadi mahasiswa takut akan ke depannya apabila Undang-Undang ini sudah berlaku maka peluang lapangan kerja bagi para Pemohon semakin berkurang padahal pada faktanya sebelum adanya Undang-Undang ini lapangan pekerjaan bagi sipil pun sudah sangat sedikit, apabila Militer diperbolehkan bekerja di ranah sipil maka lapangan pekerjaan bagi Para Pemohon akan menjadi sangat sulit untuk didapatkan,” ujar salah satu Pemohon Nova Auliyanti Faiza dalam sidang pendahuluan Perkara Nomor 83/PUU-XXIII/2025 pada Selasa (27/5/2025).
Selain Nova, para Pemohon lainnya adalah Mohammad Arijal Aqil, Shanteda Dhiandra, Bisma Halyla Syifa Pramuji, dan Berliana Anggita Putri. Berliana yang sudah menjadi sarjana hukum mengaku mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan dikarenakan minimnya lapangan pekerjaan serta tinggi angka pencari kerja yang tidak diserap, menghasilkan tingginya angka pengangguran dan persaingan yang sulit. Terlebih apabila posisi jabatan yang sepantasnya diisi oleh sipil yang memiliki keahlian di bidang tersebut justru diisi militer yang kompetensinya bukan di bidang tersebut.
Di samping itu, para Pemohon menyebut UU TNI tidak memenuhi kategori sebagai Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam keadaan darurat atau mendesak sebagaimana ketentuan norma Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Tidak terdapat keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, ataupun urgensi nasional yang nyata dan tidak dapat ditunda sebagai dalih yang ingin dijadikan justifikasi untuk menuntut segera dibentuknya revisi terhadap UU TNI di luar mekanisme program legislasi nasional (prolegnas) yang lazim.
UU TNI juga tidak dapat dikualifikasikan sebagai RUU carry over sebagaimana ketentuan UU P3. Berdasarkan dokumen dan fakta legislasi yang ada, RUU TNI pada periode DPR 2019-2024 tidak pernah sampai pada tahap pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) karena Presiden tidak pernah mengirimkan surat presiden maupun DIM sebagai prasyarat konstitusional untuk memulai pembahasan bersama DPR. Menurut para Pemohon, rangkaian proses perencanaan pembentukan UU TNI mencerminkan pola perencanaan yang tergesa-gesa dan mengabaikan prinsip kehati-hatian yang seharusnya menjadi fondasi dalam setiap proses legislasi.