Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Modus baru terorisme
ilustrasi terorisme (IDN Times/Aditya Pratama)

Intinya sih...

  • Propaganda terorisme dilakukan secara bertahap melalui platform digital populer

  • Faktor sosial seperti bullying, broken home, dan minimnya literasi digital mempengaruhi kerentanan anak terhadap radikalisme online

  • Polri merekomendasikan langkah-langkah pencegahan, termasuk pengawasan media sosial oleh anak di bawah umur dan pembentukan tim terpadu lintas kementerian/lembaga

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divhumas Polri Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko menyoroti modus operandi baru kelompok terorisme, yang secara terstruktur merekrut anak-anak. Modus rekrutmen secara online ini memanfaatkan berbagai platform digital yang populer, termasuk media sosial, game online, aplikasi perpesan instan, dan situs-situs tertutup.

"Propaganda pada awalnya didiseminasi melalui platform yang lebih terbuka seperti Facebook, Instagram, dan game online," kata Trunoyudo kepada jurnalis, Selasa (18/11/2025).

Modus operandi ini dinilai efektif karena teknologi digital memungkinkan penyebaran ideologi radikal secara langsung, yang sangat berdampak negatif terhadap kelompok rentan, terutama anak-anak.

1. Propaganda dilakukan secara bertahap

ilustrasi media sosial (pexels.com/Ocko Geserick)

Trunoyudo mengatakan, modus penyebaran propaganda oleh jaringan terorisme, dilakukan secara bertahap untuk menjaring dan mengindoktrinasi anak-anak. Awalnya, propaganda didiseminasi melalui platform yang lebih terbuka dan umum seperti Facebook dan Instagram, serta game online.

"Setelah mengidentifikasi target potensial, mereka kemudian dihubungi secara pribadi atau japri melalui platform yang lebih tertutup dan terenkripsi seperti WhatsApp atau Telegram," ujar Trunoyudo.

Ia menyebut propaganda yang disebarkan menggunakan format yang menarik dan membangun kedekatan emosional, seperti video pendek, animasi, meme, dan musik untuk memicu ketertarikan ideologis.

2. Faktor sosial pendorong kerentanan anak teradikalisasi

Ilustrasi bullying (Pexels.com/Mikhail Nilov)

Tak hanya itu, hasil asesmen kerentanan anak menunjukkan faktor sosial memainkan peran besar dalam membuat mereka rentan terhadap pengaruh radikal online. Faktor-faktor ini mencakup isu-isu pribadi yang sering dialami anak dan remaja di tengah masyarakat.

Di antaranya adalah korban bullying di sekolah atau lingkungan sosial, situasi broken home dalam keluarga, kurangnya perhatian dari orang tua, dan proses pencarian identitas jati diri. Selain itu, marginalisasi sosial serta minimnya kemampuan literasi digital dan pemahaman agama juga menjadi celah yang dimanfaatkan perekrut terorisme.

“Salah satu kasus menonjol adalah peristiwa pengeboman di kita ketahui, kejadian yang ada di SMA Negeri 72 Jakarta,” ujar Trunoyodo.

Ia menambahkan, aksi tersebut merupakah salah satu contoh dari kasus dampak bullying dan pencontohan dari pelaku terorisme di luar negeri.

3. Rekomendasi empat langkah pencegahan dari Polri

Ilustrasi Polri (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Sementara, berdasarkan evaluasi penanganan yang dilakukan, Polri merekomendasikan empat langkah utama untuk mengatasi fenomena rekrutmen online ini.

Pertama, diperlukan langkah-langkah terstruktur untuk mengawasi dan membatasi pemanfaatan media sosial oleh anak di bawah umur, dimulai dari kajian regulasi yang ada. Secara kelembagaan, harus dibentuk Tim Terpadu Lintas Kementerian/Lembaga yang fokus pada deteksi dini, edukasi, intervensi pencegahan, penegakan hukum, serta pendampingan psikologis. Tim ini bertujuan memberikan penanganan yang cepat dan komprehensif.

Selain itu, agar penanganan berjalan efektif dan seragam, perlu disusun Standar Operating Procedure (SOP) teknis bagi seluruh stakeholder sesuai mandat dan tupoksi masing-masing. Terakhir, seluruh elemen masyarakat termasuk orang tua, guru, dan stakeholder lainnya diminta untuk meningkatkan kepedulian dan partisipasi aktif guna memutus mata rantai rekrutmen atau pengaruh online yang merugikan anak.

Editorial Team