Sejak mengalami kecelakaan sepeda motor Januari lalu, Muslihah tak sanggup menggarap sawah untuk pekerjaan yang berat, seperti membajak sawah dan memanen padi. Sebab, kecelakaan itu membuat lengan kirinya patah yang hingga kini harus menjalani terapi.
Muslihah tidak seperti dulu sebelum kecelakaan menimpanya. Ia biasanya sanggup merawat sawah secara keseluruhan, mulai menyemai bibit padi, menanam bibit padi, menyemprot obat anti-hama, membersihkan rumput, hingga memanen padi.
"Biasanya apa-apa sendiri, kayak matun (mencabuti rumput liar di antara padi), gombrang galeng (membersihkan rumput di pematang), nyemprot (obat anti-hama). Tapi karena tangannya belum sehat bener, makanya bayar ke orang," ujar dia dengan logat ngapak Banyumasan.
"Aku gebal (memotong kayu bakar dengan kapak) aja sendiri, kalau suami lagi merantau ke Sumatera," tutur Muslihah, tersenyum.
Biasanya, Muslihah pagi hari sudah pergi ke sawah usai salat subuh, jika suaminya sedang di tanah rantau. Jika matahari mulai terbit, ia pulang ke rumah untuk menyiapkan sarapan buat anak bungsunya sebelum berangkat sekolah.
"Abis nyiapain sarapan buat anak, baru berangkat ke kantor. Sekarang tiap hari harus ke kantor sampai siang. Nanti sorenya baru ngajar sekolah diniyah," ucap Muslihah saat perjalanan pulang dari sawah ke rumahnya yang berjarak sekitar 2 km.
Namun, di antara kesibukan sebagai penyuluh desa dan guru sekolah diniyah, Muslihah harus mengisi dakwah di kampung halamannya serta mengajar kitab kuning di rumahnya. Jadwal mengajar diniyah pun tak jarang harus digantikan guru lain karena harus berdakwah.
"Kadang sekolah diniyah ada guru pengantinya, gantian, jadi aku bisa ngaji, soalnya seminggu pengajian bisa dua tiga kali," ujar perempuan yang dikenal cekatan itu.