Wawancara dengan Mendikbudristek Nadiem Makarim bersama Uni Lubis by IDN Times. (IDN Times/Tata Firza)
Ya, itu benar sekali yang terjadi adalah, kita dari dulu sudah tahu secara internal bahwa ini ada fenomena gunung es. Bahwa yang dilaporkan itu sebenarnya porsi sangat kecil daripada kejadian yang ada. Karena pada saat kita melakukan polling-polling, angka-angka yang keluar itu di atas 20 persen, yang mengalami bentuk kekerasan seksual di dalam institusi pendidikan kita. Jadi, pada saat kita mengeluarkan Permendikbud itu tiba-tiba gunung es itu semakin naik dari permukaan laut. Semakin banyak, korban yang berani melaporkan, semakin banyak diskusi antara mahasiswa, dosen, dan lain-lain. Dan, karena menjadi suatu isu di ranah publik, jadi semakin banyak orang merasa percaya diri untuk bisa mengutarakan kejadian-kejadian dan insiden yang terjadi. Itu mungkin dampak yang terbesar daripada Permendikbud itu.
Tentunya itu tidak cukup bahwa hanya ada, lebih banyak pelaporan itu bagus, ya, tapi itu tidak cukup, karena sekarang tantangannya adalah apa yang akan dilakukan mengenai laporan itu? Apakah akan ada tindak lanjut daripada pihak rektorat terhadap insiden-insiden ini? Apakah akan ada sanksi-sanksi yang terlaksana? Karena saya selalu bilang, kalau mau ada sanksi, ya Permendikbud itu dilaksanakan. Karena kita semua sudah menerima bahwa itu terjadi di semua perguruan tinggi. Jadi saya bilang sama semua rektor, hasil apa yang saya harapkan, saya ingin melihat sanksinya di mana? Simpel aja, gitu.
Saya akan melihat, kalau tidak ada sanksi itu artinya Anda tidak melaksanakannya, karena saya tidak percaya bahwa di bawah universitas Anda itu tidak ada kejadian sama sekali. Dan itu pun suatu mental model yang harus dihilangkan. Jadi saya melihat sangat jelas, rektor-rektor yang mengambil tindakan yang tegas adalah rektor-rektor yang terbuka pikirannya terhadap, “Oh ya, pasti ini kejadian di dalam universitas saya”, gitu. Sedangkan yang lebih lama bergerak adalah yang selalu defensive dan denial. “Gak ini gak terjadi, ini kita aman-aman aja kok, kita sudah harmonis”, nah ini yang bahaya, pemikiran seperti itu, pola pikir seperti itu yang paling bahaya.
Soal data? Saat ini kan kita lagi mendorong perguruan tinggi untuk membentuk satgasnya, karena satgas itu adalah badan pelaksanaan daripada Permendikbud ini. Dan di perguruan tinggi ini sudah ada 33 kampus yang memiliki satgas. Nah ini tentunya jauh dari aspirasi kita, jadi kami terus mendorong. Kami menargetkan pada tahun ini ada 124 perguruan tinggi negeri dan 16 swasta sudah membentuk satgas, itu akhir tahun ini target kita. Jadi kita lagi kejar ini pembentukan ini. Mereka mengerti kok, memang tidak mudah, mereka harus memilih orang-orang yang baik, dan lain-lain. Jadi kami mengerti ini pertama kalinya, tetapi kami juga mendorong mereka untuk mengakselerasi.
Nah, pada saat nanti satgasnya sudah terbentuk kita lihat apa yang dilakukan satgas ini, orangnya, integritasnya tinggi atau tidak? Apakah mereka benar-benar mendukung dan melindungi korban? Jadi posisi kita dalam Permendikbud itu semuanya, everything is about the victim, melindungi korban, mendengarkan korban. Selalu, memilih untuk percaya dulu dengan korbannya, percaya dulu, bukannya victim blaming, bukannya malah menyalahkan korban. Itu luar biasa kasus-kasus yang menyedihkan banget Mba Uni, mengenai, ya semuanya serba salah, sebelum ada Permendikbud ini semuanya serba salah. Kalau dia melaporkan dibilang mana buktinya? Akhirnya dia menjadi pembicaraan negatif di komunitas, seolah dianggap aib, aib di keluarga.
Lebih sedih lagi di teman-temannya sendiri ada yang malah bukan mendukung, malah dikritik, menyalahkan. Akhirnya dia gak kuat, dia keluar lewat media sosial untuk mengutarakan, untuk menceritakan insidennya, lalu akibatnya si korban langsung diserang pencemaran nama baik. Jadi diserang berbagai macam arah, nah ini yang mau kita pastikan satgas bisa melindungi situasi ini.
Saat ini angka selalu bergerak cepat, saya gak tahu persisnya berapa tapi itu berlipat ganda peningkatannya sejak Permendikbud.
Kasus Dosen di UNRI yang diproses hukum karena melakukan pelecehan seksual ke mahasiswinya, ternyata putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru membebaskan dosen tersebut. Ini bisa jadi preseden buruk penerapan Permendikbudristek?
Kami selalu khawatir mengenai isu-isu ini. Ini makanya independensi dan kualitas daripada satgas itu menjadi hal yang sangat penting. Di mana satgas itu secara tidak langsung menjadi lawyer-nya korban, dia menjadi psikolognya korban, dia juga menjadi, pembela publik dan komunikasi daripada korban-korban tersebut. Jadi harapannya dengan kita memilih orang-orang yang baik sebagai anggota dari satgas ini, insiden-insiden seperti ini tidak akan, terjadi lagi, akan ada sanksi tegas, baik itu sanksi dalam universitas maupun sanksi sosial terhadap para pelaku. Jadi paling tidak, walaupun kita pasti akan mengalami berbagai macam benturan dari sisi legalitas, ya, karena yang kita ubah kan peraturan di dalam universitas. Kita bukan mengubah undang-undang, tapi dengan RUU TPKS ini menurut saya juga akan sangat membantu, karena yang saya dengar sebentar lagi disahkan.
Kalau disahkan jadi UU TPKS, ini satu development yang sangat positif menurut saya, dan akan membantu dari sisi hukum. Tapi ya kita tidak bisa menunggu semuanya sempurna sebelum maju ke depan. Paling tidak kita ingin membuat sinyal kepada semua kampus-kampus kita, bahwa kalau Anda mau terus melakukan tindakan-tindakan seperti ini, merasa pelecehan dan kekerasan seksual itu suatu hal yang tidak ada sanksi apapun, sosial maupun regulasi maupun sanksi akademis, ya ini saatnya Anda khawatir, ini saatnya orang mulai takut, dan ini saat paling tidak nyaman untuk para pelaku. Dan itu sebenarnya objektif terpenting kita, kita ingin pelaku-pelaku, atau orang-orang yang berpikiran, berpotensial menjadi pelaku, mereka takut, mereka tidak nyaman, dan mereka merasa terancam kalau mereka melakukan tindakan itu.
Dan sebenarnya menurut saya sudah tercapai tujuan itu, orang sekarang mikir lagi sebelum dia melakukan apapun, dalam bentuk apapun. Dan dia mengecek sekarang. Saya mendengar banyak masukan bahwa baik mahasiswa maupun dosen banyak yang melihat dan membaca Permendikbud ini dan baru menyadari, “Oh itu saya gak boleh melakukan itu”, “Oh, jadi saya harus ini, begini kalau alami”. Dan itu hal yang sangat positif untuk mereka mengetahui bahwa yang tadinya abu-abu itu menjadi hitam putih sekarang.
Platform Merdeka Belajar sudah ada 19 sekarang, terakhir soal rapor pendidikan. Bagaimana mengukur platform ini sudah memperbaiki kualitas pendidikan kita di semua level?
Jawabannya adalah melalui assessment nasional, dan itu yang tadi dibahas mengenai rapor pendidikan, itu hasil pertama assessment nasional. Jadi ya ini pertama kalinya kita melakukan suatu assessment yang 100 persen online, dan kita melakukan ini dari SD sampai SMA dan setara. Selama ini belum pernah ada assessment seperti ini di mana kita melakukannya ke 6,5 juta siswa, 3,5 juta guru, hampir 260 ribu skor masuk ke dalam assessment. Dulu kan waktu UN (ujian nasional) cuma SMP, SMA, sekarang sampai SD, jadi kita punya data.
Dan datanya itu berubah sekarang, jadi jauh lebih relevan dengan standar internasional, kita menggunakan, misalnya standar PISA di mana kita mengetes angka numerasi dan literasi. Kita bukan mengetes kemampuan anak itu menghafal informasi, kita mengetes kemampuan bernalar dia dalam aspek literasi dan numerasi. Ini bukan cuma salah satu, tapi ini assessment nasional satu-satunya, mungkin gak banyak assessment nasional di dunia yang meng-asses nilai-nilai di luar kemampuan kognitif. Jadi kita salah satu inovator dunia sekarang dalam assessment nasional, kita meng-assess ya, mencakup semua aspek dari tiga dosa itu kita evaluasi dari sisi kerentanan kekerasan seksual, kita melihat kerentanan terhadap intoleransi, kita mengukur berkebhinekaan, baik kebhinekaan dalam agama dan budaya, tapi juga rasa kebangsaan.
Dan yang ketiga, dari perundungan. Jadi pertama kali kita bukan hanya mensurvei anak-anaknya tapi juga guru-gurunya untuk mengetahui iklim keamanan dan iklim kebhinekaan di dalam sekolah-sekolah seperti apa? Jadi kita bisa meng-assess setiap sekolah itu berdasarkan, di mana di profil pelajaran Pancasila dia yang kuat, mana yang lemah, dan rapor itu diberikan secara online kepada setiap kepala sekolah dan setiap kepala daerah, kepala dinas, dinas daerah, untuk bisa melakukan refleksi. Jadi sudah gak zaman bahwa rapor adalah hal yang menghukum, tidak, ini adalah refleksi dan tahun ini adalah baseline-nya. Sehingga yang kita mau lihat adalah perubahan positif dari baseline-nya. Gak apa-apa mau rendah, tinggi, sekarang gak apa apa, yang penting itu tahun depan apakah ada perubahan signifikan. Itu yang kita harapkan dari ini, dan pertama kalinya, bayangkan, dalam sejarah Indonesia, kepala sekolah dan nanti guru-gurunya semua bisa melihat matrik apapun yang dia dalami, oh, dalam literasi, oke, saya mau melihat dalam aspek nasionalisme kebangsaan, saya mau melihat dari kebhinekaan, kesetaraan beragama, saya mau lihat dalam aspek keamanan kekerasan seksual seperti apa datanya sekolah saya.
Soal inovasi dan kreativitas juga. Dari assessment kita ditemukan anak-anak Indonesia sangat kuat di kreativitas, akhlak, dan spiritualitas. Yang ada kelemahan, yang harus ditingkatkan. Itu di aspek kemandirian, kemandirian dari anak itu bisa berpikir dan mendorong dirinya sendiri, dan juga dari aspek kebhinekaan, itu yang perlu kita tinggikan juga.
Semua bisa melihat hasilnya di online site kita, di website kita, tetapi data mendetailnya itu untuk masing-masing sekolah, ya, untuk refleksi. Jadi kita juga, dan tidak ada data perorangan, jadi sama sekali semuanya anonymous, cuma agregasi per sekolah dan per daerah. Jadi itu memang sengaja karena ini bukan maksud untuk me-ranking-ranking ya, ini bukan maksudnya mau menyalahkan, blaming. Ini maksudnya adalah setiap sekolah punya bahan refleksi.