Partono, pemulung di Depok yang belum beroleh bantuan pemerintah (IDN Times/Rohman Wibowo)
Pada ujung dekade 90-an, nasib membawa Partono berlabuh ke daerah pinggiran ibu kota dengan menyambung hidup sebagai pemulung. Ia adalah warga rantau asal desa di Wonosobo, Jawa Tengah. Sebelum mantap mengadu nasib di kota orang, ia bertahan hidup dengan bertani di kampung halaman. Namun usahanya menanam cabai dan sayuran urung berbuah hasil manis. Panen yang diharap nyatanya tak kuasa menutup biaya operasional dan pengeluaran harian, lantas usahanya gulung tikar.
Dari tiga anaknya, hanya si bungsu yang diboyong ke kota perantauan, sedang duanya lagi mencoba peruntungan di kampung dengan bertani. Setibanya di Depok, ia menetap di kampung Lio yang terletak di Kelurahan Depok Jaya Kecamatan Pancoran Mas. Kawasan itu bagai cerminan kemiskinan di Kota Belimbing. Mayoritas warga yang tinggal di sana adalah perantau yang saban hari mencari rezeki sebagai pengemis dan pemulung. Ironisnya, lokasi kampung itu hanya berjarak 3 kilometer dari balai kota.
Partono beroleh tempat tinggal di kampung padat penduduk itu berkat uluran tangan dari pengepul barang rongsokan, yang kemudian menjadi bosnya. Saban hari, ia mesti setor sampah yang punya nilai jual demi tetap diberi tempat untuk berteduh. Beberapa tahun setelah merantau, istri dan satu anaknya bermukim di sana, sebelum akhirnya pada tahun 2019, proyek pemerintah memporak-porandakan tempat tinggalnya. Mereka ‘diusir’ dengan dalih perbaikan tata kota.
Diusir dari kampung pemulung, membuat mereka berganti tempat tinggal ke kampung pemulung lainnya. Dengan kondisi serupa, mereka tinggal di rumah pemilik pengepul barang rongsokan di Kelurahan Kemiri Muka, Kecamatan Beji. Tempat tinggal baru mereka tak kalah kumuhnya dan sama-sama mengundang kesan ironi. Kampung pemulung itu hanya berjarak lebih kurang 500 meter dari pusat modernitas, semisal gedung bertingkat macam pusat perbelanjaan, apartemen, hotel, dan kampus.
Selama 20 tahun tinggal di Depok, ia belum sedikit pun mencicipi bantuan pemerintah, mulai dari program keluarga harapan, kartu sembako, dan bantuan sosial lainnya. Begitu pun di masa pandemik sekarang. Belum ada satu bansos dari pemerintah yang Partono dan keluarganya terima. Padahal semestinya mereka berhak mendapat bansos, seiring janji Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang bakal membantu penduduk berprofesi sebagai pemulung, meski yang bersangkutan bukan warga asli Jawa Barat.
Sudah berulang kali pihak RT/RW menarik KTP dan kartu keluarga yang kemudian disetor ke Dinas Sosial setempat, namun bantuan Rp500 ribu dari sumber APBD Pemprov Jabar itu tak kunjung mengalir ke Partono dan keluarga. Malah, polisi sempat turut juga mendata mereka dan berjanji akan memberikan bantuan.
“Saya dimintain KTP sudah 3 kali selama corona, sama RT/RW dan polisi, datang sendiri ke sini polisi bilang katanya mau dikasih bantuan sama pemerintah,” ucapnya.