Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi kebebasan pers. Foto dari Twitter @aji_surabaya

JAKARTA, Indonesia —Jimmy (bukan nama sebenarnya) sesungguhnya tahu menerima duit dari narasumber melanggar kode etik jurnalistik. Namun demikian, ia mengaku tak punya pilihan lain. Gajinya sebagai seorang wartawan di sebuah media berita daring tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 

"Ya, gue juga tahu sebenarnya ini (menerima duit) salah. Tapi, mau gimana lagi? Ngandelin gaji doang, buat liputan aja mana cukup. Akhir bulan juga isi dompet udah abis bro," ujar Jimmy saat berbincang dengan Rappler, beberapa waktu lalu. 

Namun, Jimmy mengaku, tidak pernah mengancam atau memeras narasumber. Duit yang ia terima, lanjut pria yang baru saja menikah itu, rata-rata merupakan 'jatah' rutin menulis berita untuk pencitraan para narasumber yang kebanyakan berasal dari kalangan politikus. 

"Kalau dikasih ya syukur, kalau enggak ya woles (enggak apa-apa). Itung-itungannya kerja dikasih insentif. Ya, kalau kantor enggak ngasih, cari dari luar. Yang penting gue enggak malak aja dan enggak bikin berita bohong. Gue tulis apa adanya aja," ujarnya.  

Situasi serupa juga sempat dialami Rekso Purnomo. Mantan wartawan di salah satu media daring di bawah Grup Kompas Gramedia itu mengaku 'tidak berani' menikah karena merasa tidak bakal mampu menafkahi calon istri dan anak-anaknya kelak dengan hanya mengandalkan gaji. Terlebih, ia selalu tak mau menerima 'ongkos pulang' dari narsum. "Mau dikasih makan apa? Lo tau sendirilah gaji wartawan," cetusnya.

Karena itulah, Rekso mengaku, memutuskan untuk undur diri dari tempatnya bekerja. Selain persoalan upah yang tidak mampu mengejar kenaikan inflasi, menurut dia, kepentingan-kepentingan politis juga kerap 'merasuki' media tempat dia pernah bernaung. "Jadinya enggak betah," ujar dia tanpa merinci. 

Januari lalu, AJI Jakarta menetapkan besaran upah layak jurnalis pemula di Jakarta pada 2018 sebesar Rp 7.963.949. Jumlah ini meningkat dibanding upah layak jurnalis pada 2016 sebesar Rp 7.540.000 dan 2015 sebesar Rp 6.510.40. Faktanya, tak banyak wartawan pemula yang diupah lebih dari Rp5 juta per bulan.

Kekerasan terhadap wartawan

Selain persoalan upah yang membuat banyak wartawan sulit untuk netral, menurut Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan, masih banyak persoalan yang dihadapi pers Indonesia saat ini. Salah satu persoalan yang terus berulang ialah maraknya kekerasan terhadap jurnalis.

Menurut data AJI, tercatat ada setidaknya 75 kasus kekerasan terhadap jurnalis pada periode Mei 2018-Mei 2018, dengan rincian 56 kasus kekerasan di kota atau kabupaten dan 25 kasus di provinsi. Adapun pelaku kekerasan, lanjut Abdul, mayoritas berasal dari personel kepolisian. 

"Bentuk kekerasannya beragam, mulai dari penyeretan, pemukulan, baik dengan tangan maupun dengan benda tajam atau tumpul, hingga pengeroyokan oleh oknum. Kasus kekerasan kedua terbanyak adalah pengusiran, baik oleh aparatur negara atau satpam (satuan pengamanan)," tutur Abdul kepada wartawan di kawasan Cikini, Jakarta, Kamis 3 Mei 2018.  

Ancaman kebebasan pers juga datang dari ranah politik dan regulasi. Selain dikekang oleh Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), kemerdekaan pers juga bakal kian terbungkam lewat sejumlah pasal di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini tengah digodok pemerintah bersama DPR. 

Dalam beleid RKUHP, AJI mencatat setidaknya ada 16 pasal di dalam RKUHP yang mengancam kebebasan pers. Sebanyak sembilan pasal di antaranya, yakni pasal 228, 229, 230, 234, 235, 236, 237, 238 dan 239, mengatur tentang pemidanaan kepada seseorang yang bukan wewenangnya membocorkan informasi mengenai pertahanan negara, rahasia negara dan kepentingan negara. 

Padahal, lanjut Abdul, kerja wartawan untuk mencari data dan fakta tersebut diatur oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers). "Wartawan juga berpikir dua kali menulis berita yang membahayakan dirinya. Dan ini diperparah dengan banyaknya pemilik media yang terjun ke dunia politik sehingga mengekang independensi media," imbuhnya. 

Karena itu, ia menilai, wajar jika kebebasan pers Indonesia masih stagnan. Menurut ranking yang dikeluarkan Reporters Without Borders (RWB), peringkat kebebasan pers di Indonesia masih berada di urutan 124 pada 2018 atau sama dengan peringkat tahun lalu. Padahal, Indonesia sempat menembus peringkat 101 pada 2008 lalu. 

Situasi kebebasan pers diukur antara lain berdasarkan evaluasi pluralisme, independensi media, kualitas bingkai kerja, serta keamanan bagi jurnalis di setiap negara. "Secara keseluruhan situasi kebebasan pers dunia pada tahun ini kurang menggembirakan bagi jurnalis dan pekerja media pada umumnya," ujar Abdul.

Gambaran regional

Namun demikian, sebenarnya peringkat Indonesia versi RWB masih sedikit lebih baik jika dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara semisal Filipina (133), Myanmar (137), Kamboja (142) dan Malaysia (145). 

Tingkat kebebasan pers di Filipina khususnya mengalami kemunduran drastis di bawah rezim pemerintahan Rodrigo Duterte. Mantan Walikota Davao itu bahkan kini melarang wartawan Rappler Filipina meliput di Istana Malacanang karena pemberitaan mereka yang kritis, khususnya terkait perang melawan narkoba rezim Duterte yang telah merenggut ribuan jiwa. 

"Hanya karena Anda seorang jurnalis, Anda tidak terbebas dari ancaman pembunuhan jikalau Anda seorang bajingan," ujar Duterte mewanti-wanti juru warta sebelum resmi berkantor di Istana Malacanang pada 2016 seperti dikutip Asia.nikkei.com. 

Bukan hanya melarang Rappler masuk Istana Malacanang saja, rezim Duterte juga menempuh jalur hukum dalam upaya mencabut lisensi pemberitaan media yang didirikan pada 2011 itu. Chief Executive Rappler Maria Ressa mengungkapkan, dia dan para reporter Rappler kerap mendapatkan ancaman pembunuhan dan pemerkosaan dari para 'penguntit' di internet yang menganggap pemberitaan Rappler tidak berimbang. 

"Lebih mudah berada di zona perang karena kita tahu dari mana berondongan peluru datang. Di dunia virtual, kita tidak akan tahu apa yang nyata dan apa yang tidak nyata," ujar Ressa. 

Adapun di Myanmar, kebebasan pers terus mengalami kemunduran setelah isu pembataian etnis Rohingya di Rakhine menjadi perhatian dunia dalam beberapa tahun terakhir. Sejak isu ini mencuat, pemerintahan Myanmar di bawah Aung San Suu Kyii melarang wartawan memasuki wilayah Rakhine. 

Bahkan, rezim Aung San Suu Kyii saat ini masih menahan dua wartawan Reuters karena kerja-kerja investigatif mereka dalam mengungkap kekerasan dan pembunuhan yang dilakukan aparat terhadap warga etnis Rohingya. 

—Rappler.com

Editorial Team