Jakarta, IDN Times - Calon pimpinan KPK yang mengikuti uji kepatutan dan kelayakan nantinya akan dipaksa untuk menanda tangani sebuah kontrak politik oleh DPR. Hal itu lantaran DPR kerap merasa ditipu oleh capim komisi antirasuah. Sering kali apa yang sudah dijanjikan oleh capim pada proses pemilihan, kemudian tidak dijalankan. Bahkan, setelah berada di dalam KPK, para capim yang dipilih oleh anggota parlemen sering kali lantang mengkritik anggota DPR.
"Yang jelas, yang sudah jadi bahan pembicaraan sebagai kesepakatan adalah bahwa apa pun yang nanti disampaikan capim dan itu merupakan komitmen, maka itu akan dituangkan secara tertulis," kata anggota komisi III dari fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani di gedung DPR pada Senin (9/9).
Tidak heran mengapa anggota DPR akhirnya menempuh kebijakan ini, karena jumlah anggota parlemen yang ditangkap oleh KPK angkanya terus meningkat. Data yang disajikan oleh KPK pada 2019 menunjukkan 255 perkara korupsi melibatkan anggota DPR dan DPRD. Lalu, bagaimana sistem surat kontrak politik ini akan efektif mengekang capim KPK?