Oleh Dhion Gumilang
YOGYAKARTA, Indonesia - Sistem budaya patriarki dianut dan sudah mengakar pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Perempuan, dalam status sosialnya, berada dalam warga kelas dua di bawah laki-laki.Bahkan, dalam kebudayaan Jawa yang kental dengan sistem budaya patriarki seolah mendukung status sosial ini dalam pepatahnya "swarga nunut, neraka katut" yang berarti bahwa nasib istri ditentukan oleh suami.
Kemudian, apakah budaya patriarki menjadi penyebab kegagalan perempuan untuk mengambil posisi yang setara secara intelektual dan profesional? Ya. Ada batasan pembeda yang dikaburkan dalam budaya ini. Pembedaan sosial, politik dan ekonomi berakar pada struktur anatomi dan psikologis.
Perempuan Indonesia masih berkutat pada pengertian paradoks yang mana masih memperjuangkan kesetaraan gender dan memberikan sedikit kebebasan ruang gerak, tetapi, akar nilai tradisi masih kuat dan tetap menghalangi serta cenderung memposisikan perempuan sebagai subordinat laki-laki.
Akibatnya, ketimpangan gender akan terus ada dalam kontrol dan dominasi laki-laki dalam bermasyarakat. Perempuan akan selalu dijadikan obyek dan tak jarang mengalami kekerasan, pelecehan seksual, penganiayaan, intimidasi, pemerkosaan, dan pembunuhan. Kewajaran ini dianggap dan dipahami oleh masyarakat sebagai wujud dari eksistensi laki-laki dengan segala sikap dominasi.
“Yang harus diwaspadai adalah jangan sampai rape culture menjadi sebuah budaya di masyarakat Indonesia. Korban harus kita support untuk melapor, jangan takut dengan stigma bahwa korban dianggap tidak bermoral dan disalahkan oleh masyarakat,” menurut Ashika Prajnya Paramitha, akademisi dalam kajian sastra dan budaya dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Di era digital ini telah berkembang kekerasan terhadap kaum perempuan dengan memanfaatkan akses teknologi atau kerap dikenal sebagai cyber crime. Perempuan sering menjadi korban dari cyber crime. Produk budaya dan nilai tradisional mempengaruhi fenomena ini.
Menurut Komnas Perempuan, kekerasan berbasis siber ini adalah kekerasan yang muncul ke permukaan dengan masif, namun kurang dalam pelaporan dan penanganan. Dampak dari kejahatan berbasis siberini dapat menjatuhkan hidup perempuan, menjadi korban berulang kali, dan dapat terjadi seumur hidup.
Bentuk baru kekerasan terhadap perempuan ini menjadi sebuah catatan khusus bagi pemangku kepentingan dan Pemerintah.