Oraski Dorong Upah Ojek Online Lewat Mekanisme Realistis

Intinya sih...
- Oraski mendorong upah ojol melalui mekanisme yang realistis
- Revisi UU Lalu Lintas harus tingkatkan kualitas layanan dan keselamatan pengguna
Jakarta, IDN Times - Organisasi Angkutan Sewa Khusus Indonesia (Oraski) mendorong agar perjuangan upah ojek online (ojol) melalui mekanisme yang realistis. Pihaknya mengambil sikap tegas terhadap revisi Undang-undang Lalu Lintas yang sedang jadi pembahasan. Mereka menganggap, keberlangsungan ekosistem transportasi online harus tetap terjaga.
"Jangan rusak dengan regulasi yang keliru arah," ujar Ketua Umum Oraski, Fahmi Maharaja, dalam keterangannya, Selasa (20/5/2025).
Fahmi mengatakan, selama ini Oraski memperjuangkan kesejahteraan driver online melalui pendekatan langsung kepada aplikator, mendorong program garansi pendapatan harian yang kini telah dinikmati para driver— baik anggota Oraski maupun mitra individu lainnya.
Oraski menilai, revisi Undang-Undang Lalu Lintas sebaiknya diarahkan untuk meningkatkan kualitas layanan dan keselamatan pengguna, bukan semata-mata perubahan status atau pembatasan tarif yang berpotensi melemahkan daya saing.
“Kami ingin keberlangsungan ekosistem transportasi online tetap terjaga. Jangan rusak dengan regulasi yang keliru arah. Kami ingin solusi jangka panjang, bukan sensasi jangka pendek,” ucap dia.
1. Perlu dialog sehat dan regulasi yang proporsional
Oraski meyakini, keberlangsungan sektor transportasi online hanya bisa dijaga melalui dialog yang sehat, regulasi yang proporsional, serta keterlibatan nyata dari para pelaku utamanya, yakni mitra pengemudi.
"Kami akan terus berada di jalur perjuangan yang rasional dan solutif, tanpa perlu terjebak dalam dinamika politik sesaat yang justru dapat merusak ekosistem yang telah kita bangun bersama," kata Fahmi.
2. Oraski nilai kesejahteraan harus diperjuangkan dengan pendekatan konstruktif dan rasional
Oraski menilai, kesejahteraan pengemudi harus diperjuangkan melalui pendekatan yang konstruktif dan rasional, bukan dengan mobilisasi politik atau tekanan jalanan yang bisa mengganggu stabilitas ekosistem transportasi online.
Fahmi menyampaikan, pada prinsipnya Oraski mendukung setiap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan driver online, tetapi tidak menyetujui usulan DPR terkait pembatasan potongan aplikasi maksimal 10 persen.
“Usulan tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi keberlangsungan transportasi online. Ekosistem ini selama ini terbukti mampu bertahan tanpa subsidi pemerintah, bahkan di tengah tantangan ekonomi global. Jangan sampai niat baik berubah jadi blunder yang membahayakan semuanya,” ujar Fahmi.
Oraski menilai, kesejahteraan pengemudi harus diperjuangkan melalui pendekatan yang konstruktif dan rasional, bukan dengan mobilisasi politik atau tekanan jalanan yang bisa mengganggu stabilitas ekosistem transportasi online.
Fahmi mengatakan, pada prinsipnya Oraski mendukung setiap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan driver online, tetapi tidak menyetujui usulan DPR tentang pembatasan potongan aplikasi maksimal 10 persen.
“Usulan tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi keberlangsungan transportasi online. Ekosistem ini selama ini terbukti mampu bertahan tanpa subsidi pemerintah, bahkan di tengah tantangan ekonomi global. Jangan sampai niat baik berubah jadi blunder yang membahayakan semuanya,” ujar Fahmi.
3. Solusi yang diberikan lebih baik berupa insentif pajak dan edukasi, bukan tarif
Fahmi menekankan, solusi yang diberikan seharusnya berupa insentif pajak dan edukasi, bukan intervensi tarif.
Alih-alih mengatur soal potongan aplikasi, Oraski mendorong pemerintah dan DPR untuk fokus pada sejumlah insentif nyata bagi pelaku usaha dan driver online.
Di antaranya, penghapusan PPN dan PPh atas pembelian kendaraan operasional, potongan pajak untuk pembelian suku cadang, subsidi program edukasi dan pelatihan untuk driver, dan pendekatan perlindungan usaha yang selama ini juga diberikan kepada taksi konvensional.
Oraski juga menekankan, jika pemerintah dan DPR tetap memaksakan intervensi pada regulasi tarif dan potongan yang bukan ranah kewenangannya, maka risiko keruntuhan seluruh ekosistem transportasi online sangat besar.
“Kalau aplikator sampai tutup karena regulasi yang tidak tepat, maka jutaan driver bisa kehilangan pekerjaan. DPR dan pemerintah harus siap menanggung akibatnya jika ini sampai terjadi,” ucap Fahmi.