Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi hukum (IDN Times/Sukma Shakti)

Jakarta, IDN Times - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengandung aturan tentang penghinaan presiden dan wakilnya yang diatur dalam pasal 218. Beberapa dari banyak pasal dalam RKUHP dianggap masyarakat berpotensi melanggar HAM dan dapat mengancam kebebasan berpendapat.

Pakar Hukum dan Tata Negara, Bivitri Susanti, mengatakan masyarakat akan takut memberikan kritik dan terkesan aneh.

"Jadi aneh kalau presiden malah diberikan satu pasal sendiri yang melindungi dirinya," kata dia saat berbincang dengan IDN Times dalam diskusi daring 'Ngobrol Seru: Kupas Tuntas RKUHP' by IDN Times, Selasa (12/7/2022).

1. Berangkat dari larangan kritik ratu Belanda yang diadaptasi lagi saat ini

Suasana pembukaan sidang Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan (BPUPK) pada 29 Mei 1945 di Gedung Chuo Sangi-In, Jakarta. (Arsip Nasional Republik Indonesia)

Dia menjelaskan bahwa penghinaan presiden sebagai pribadi ini sudah ada aturannya. Hal ini dirasa aneh kalau dikonstruksikan tersendiri untuk presiden dan juga pejabat pemerintahaan.

Bivitri mengatakan, dugaan banyak pegiat Reformasi hukum pidana, pasal seperti ini muncul karena paradigmanya mengunakan paradigma pasal KUHP peninggalan pemerintah kolonial Belanda.

"Karena dulu tahun 1917 tahun 1920-an tentu saja kita ini para pribumi gak boleh mengkritik ratu Belanda, gak boleh mengkritik Amtenar ya istilahnya pegawai pemerintahan zaman dulu bahasa Belandanya, memang gak boleh, ratu Belanda itu kemudian waktu KUHP yang Belanda dibawa, diterjemahkan ke Indonesia sebagai presiden," kata dia.

2. Sudah punya wewenang lebih, pemerintah tak perlu pelindungan khusus

ilustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Paradigma tersbeut dibawa ke RKUHP yang baru, sehingga dikonstruksikanlah pasal penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakilnya.

Padahal, kata Bivitri, secara logika semua orang sama di hadapan hukum, apalagi seorang presiden maupun pejabat negara punya keistimewaan dan kewenangan.

"Jadi hitungannya bukannya karena dia dipilih oleh berapa ratus juta rakyat, maka dia harus lebih dilindungi, justru gak. Karena dia punya kewenangan berlebih dia gak perlu perlindungan khusus," ujarnya.

3. Pasal ini sudah pernah dibatalkan oleh MK

IDN Times/Muhamad Iqbal

Bivitri merasa, buat apa dibentuk satu pasal baru yang membuat masyarakat akan semakin bungkam, belum lagi saat ini sudah ada UU undang ITE yang kerap membuat masyarakat takut untuk mengkritik. Apalagi kalau sudah ada ketentuan seperti di KUHP.

"Sebenarnya pasal mengenai penghinaan Presiden itu juga sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, tapi kok dimasukkan lagi, itu yang jadi masalah, seharusnya memang tidak ada ketentuan seperti ini," ujarnya.

Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 013-022/PUU-IV/2006 telah menghapus pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Editorial Team