Jakarta, IDN Times - Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mengatakan publik tak boleh memberikan maaf kepada Presiden Joko "Jokowi" Widodo. Sebab, selain ia telah mengacak-acak konstitusi selama hampir satu dekade memimpin Indonesia, permintaan maaf Jokowi juga terasa tidak tulus.
"Dia kan melakukan itu karena merespons liputan (Majalah) Tempo yang terakhir, karena itu viral dan jadi pembicaraan orang. Dia itu kan tipe pemimpin yang populis, sehingga peduli pada citra. Saya merasa itu bagian dari pencitraan dia aja," ujar Bivitri ketika dihubungi IDN Times melalui telepon, Sabtu (3/8/2024).
Majalah Tempo yang diedarkan pada pekan ini mengangkat liputan investigasi khusus mengenai evaluasi kepemimpinan satu dekade Jokowi. Sampulnya diberi judul 'Nawadosa Jokowi'. Isinya memaparkan apa saja dosa yang telah diperbuat oleh mantan Wali Kota Solo itu selama hampir 10 tahun terakhir.
Di sisi lain, Jokowi tidak bisa meminta maaf dalam kapasitas pribadi, karena ia seorang kepala negara. "Perbuatannya bukan sesuatu yang bisa dimintakan maaf, karena konteksnya menyangkut kewenangan yang dimiliki. Jabatan dan wewenang yang dimiliki kan bukan kewenangan manusia biasa," katanya.
Alih-alih meminta maaf, Jokowi seharusnya mempertanggungjawabkan wewenang yang diperoleh dari jabatannya sebagai seorang presiden.