Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi Pilkada (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi Pilkada (IDN Times/Aditya Pratama)

Intinya sih...

  • Pilkada dipilih langsung boros Anggaran.

  • Dana yang dihemat bisa dipakai untuk kebutuhan rakyat.

  • Kemendagri sebut pilkada dipilih langsung tidak menghasilkan pemimpin negarawan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN times - Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis menyatakan dukungannya terhadap wacana pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Alasan utamanya adalah efisiensi anggaran negara yang dinilai terlalu besar jika pilkada terus-menerus diselenggarakan secara langsung.

Menurut Margarito, baik pemilihan langsung maupun melalui DPRD sama-sama merupakan sistem yang demokratis. Namun, ia menyoroti bias dan pemborosan biaya yang terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada langsung selama ini.

"Begini, bagi saya pilih melalui DPRD atau pilih melalui langsung seperti yang kemarin-kemarin itu, ya semuanya demokrasi, demokratis gitu ya," kata Margarito kepada IDN Times saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, dikutip Jumat (31/10/2025).

1. Pilkada dipilih langsung boros anggaran

ilustrasi pilkada (IDN Times)

Ia menjelaskan, salah satu dampak negatif terbesar dari pilkada langsung adalah biaya penyelenggaraan yang menghamburkan keuangan negara. Hal ini, menurutnya, terlihat jelas ketika pemerintah pusat mengurangi dana transfer ke daerah.

"Sekarang kita di hari-hari ini kan kita tahu kan? Begitu pemerintah pusat kurangi dana transfer ke daerah, kelihatan itu kan? Nah, dana transfer ke daerah yang kemarin-kemarin itu sebagian luar biasa besar itu dipakai untuk penyelenggaraan pilkada itu," ucap Margarito.

Sebagai contoh, Margarito mengangkat kasus di provinsi asalnya, Maluku Utara, yang memiliki jumlah pemilih relatif sedikit, namun anggaran yang digelontorkan mencapai ratusan miliar rupiah.

"Maluku Utara, daerah saya itu, yang pemilihnya cuma 900 ribu itu, kemarin Anda tahu nggak berapa waktu pemilihan gubernur? Saya dengar informasi, itu ada 200 miliar untuk urusan kampanye pemilihan itu," ungkapnya.

2. Dana yang dihemat bisa dipakai untuk kebutuhan rakyat

Ilustrasi Pilkada 2024 Tabanan (IDN Times/Wira Sanjiwani)

Dengan anggaran sebesar itu, Margarito berpendapat, dana tersebut seharusnya bisa dialokasikan untuk program yang lebih bermanfaat langsung bagi kesejahteraan masyarakat. Ia pun memberikan beberapa perbandingan.

"Anda bayangkan itu kalau beli perahu untuk kita kasih nelayan, atau kita beli pupuk, atau kita beli mesin apa tuh namanya yang kecil-kecil itu untuk kasih petani pergi masuk ke ladang lewat kali itu, berapa banyak itu?," ujarnya

Lebih lanjut, ia mengalkulasi jika dana Rp200 miliar tersebut digunakan untuk pendidikan dokter spesialis. Dengan asumsi biaya satu dokter spesialis sekitar Rp500 juta, maka anggaran tersebut bisa mencetak ratusan tenaga ahli kesehatan.

"Kalau kita kasih sekolah itu dokter ahli, berapa banyak itu? Kalau satu dokter ahli itu butuh 500 juta sampai dia jadi, uang 200 miliar kita bikin berapa banyak dokter ahli? Misalnya itu," tuturnya.

Atas dasar pertimbangan efisiensi dan pemanfaatan anggaran yang lebih produktif inilah, Margarito memantapkan dukungannya pada sistem Pilkada melalui DPRD.

"Itu yang sebenarnya hal fundamental yang mendorong saya memilih, 'Udah, pakai pemilihan melalui DPRD saja'. Jadi lebih pada soal efisiensi," imbuh dia.

3. Kemendagri sebut pilkada dipilih langsung tidak menghasilkan pemimpin negarawan

Bahtiar Baharuddin, Dirjen Polpum Kemendagri yang ditunjuk sebagai Pj Gubernur Sulsel/Istimewa

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Bachtiar menyebut sistem pilkada dipilih langsung seperti saat ini sulit menghasilkan pemimpin yang ahli dalam kenegaraan atau negarawan.

“Kasih saja contoh saya, 500 kepala daerah di Indonesia yang negarawan. Satu saja atau dua gitu. Sangat sulit kita mendapatkan itu,” kata Bachtiar dalam diskusi panel acara peluncuran Indeks Prestasi Pilkada (IPP) 2024 yang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI di Hotel Pullman Central Park, Jakarta Barat, Sabtu (18/10/2025).

Padahal kepala daerah diharapkan bisa memiliki sikap negarawan, agar nantinya dapat lanjut ke kursi kepemimpinan menjadi legislator, menteri, bahkan presiden.

“Hari ini kita tidak dapatkan itu dengan sistem yang kita buat,” tutur Bachtiar.

Oleh sebab itu, ia berharap, sistem pemilihan langsung dan pileg proporsional terbuka bisa dibahas dengan serius jelang revisi Undang-Undang Pemilu. Terutama mempertimbangkan, apakah sistem pemilihan yang sudah diterapkan sejak 2009 ini masih relevan atau tidak untuk kembali dipakai pada proses pemilu dan pilkada mendatang.

“Maka nanti ke depan ini kita akan membicarakan tentang revisi undang-undang pemilihan kepala daerah, terus terang, kita harus bicarakan serius ini, masih relevan kah tidak ini,” ujar Bachtiar.

“Faktanya sistem-sistem dengan model-model yang kita buat seperti ini, dengan (pemilihan) langsung seperti ini, ternyata tidak menghasilkan kepala daerah yang kita harapkan menjadi negarawan di tingkat daerah,” pungkasnya.

Sistem proporsional terbuka adalah sistem pemilihan legislatif di mana pemilih memilih langsung calon anggota legislatif (caleg). Indonesia pernah menerapkan sistem proporsional tertutup atau terbuka terbatas pada tahun 1999 dan 2024. Pemilih kala itu mencoblos partai politik, bukan caleg secara langsung. Kursi diberikan berdasarkan nomor urut caleg di daftar partai.

Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008, MK menyatakan bahwa suara terbanyak dari calon legislatif harus menjadi dasar penentuan siapa yang terpilih, bukan lagi nomor urut partai. Dampak putusan itu, sistem proporsional terbuka murni mulai resmi berlaku sejak Pemilu 2009, dan terus digunakan sampai 2024.

Sementara, untuk penyelenggaraan pilkada di Indonesia ialah menggunakan sistem pemilihan langsung. Di mana rakyat sebagai pemilih bisa mencoblos langsung calon kepala daerah. Sedangkan usulan pilkada dipilih oleh DPRD, artinya rakyat tidak bisa memilih langsung kepala daerah dalam pilkada. Kepala daerah dipilih diwakili oleh anggota DPRD.

Editorial Team