Jakarta, IDN Times - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraeni, mengatakan momen pemungutan suara ulang (PSU) menjadi ajang sengit bagi para calon anggota legislatif untuk mendapatkan kursi. Berdasarkan pengalamannya dalam beberapa PSU di Tanah Air, angka partisipasi di pemilihan ulang memang menurun. Tetapi, justru saat pemilu ulang praktik jual beli suara meningkat.
"Karena setiap suara berharga untuk menentukan keterpilihan menjadi suara terbanyak di internal partai dan mendapatkan kursi. Ternyata konfigurasinya, suara itu menjadi akrobat. Entah antar partai atau caleg di satu partai," ujar Titi ketika dihubungi IDN Times, Minggu (10/3/2024).
Ia kemudian memberikan contoh sebuah partai, sebelum dilakukan pemilu ulang hanya memperoleh 15 suara. Suara calegnya di bawah angka puluhan. Tapi setelah dilakukan pemilu ulang, suara partainya naik menjadi 85. Sedangkan suara caleg menjadi 74.
"Maka, PSU menjadi penentu bagi caleg yang suaranya masih rentan untuk terpilih dan mendapatkan kursi. Ini sangat berbahaya," kata dia.
Sementara, rekapitulasi pemilu di luar negeri sudah nyaris rampung dilakukan. Satu-satunya Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tersisa kini berada di Kuala Lumpur, Malaysia. Di sana, digelar pemilu ulang pada hari ini. Metode pemilu ulang yang digunakan yakni dengan hadir di TPS di World Trade Centre (WTC) dan Kotak Suara Keliling (KSK).
Titi pun menyebut, tidak tertutup kemungkinan celah seperti di pemilu ulang Tanah Air juga terjadi di Negeri Jiran.