Jakarta, IDN Times – Di Indonesia, ketahanan pangan kerap diasumsikan dengan beras yang merupakan kebutuhan pokok utama. Kalau beras cukup, harga stabil, ketahanan pangan dianggap sudah mumpuni. Padahal seyogianya, urusan ketahanan pangan tidak sekadar itu.
UU No. 18/2012 tentang Pangan menyebutkan bahwa Ketahanan Pangan adalah "kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan".
Nah, dalam situasi pendemik COVID-19, ketahanan pangan kembali menjadi topik hangat yang dibicarakan publik dan pemangku kepentingan, terutama ketika masalah ribut-ribut soal lockdown mencuat dan Pembatasan Sosial Berskala Besar diterapkan. Apakah Indonesia mampu mempertahankan ketahanan pangan di tengah gempuran virus? Atau justru virus ikut menggerogoti masalah ini?
Bagi Sudi, 'garda depan' ketahanan pangan nasional, persoalan pandemik tidak bisa dianggap remeh. Petani asal Kulon Progo, Yogyakarta itu bercerita bagaimana keseharian dia bersama petani lainnya tetap menggarap lahan di masa pandemik. Buatnya di rumah saja tidak berlaku. Pekerjaannya bisa menjadi tameng penghalau virus.
"Lahan (garapan) sangat panas. Virus yang menempel di tubuh kita bisa mati karena lahan panas banget. Kulit saja gosong kena sinar matahari,” kata Sudi.
Dihubungi IDN Times, Kamis 14 Mei 2020 lalu, Sudi mengatakan bahkan jika pemerintah menetapkan lockdown pun, petani akan tetap ke sawah demi menggarap lahan dan memastikan ketersediaan stok pangan. Setidaknya buat diri mereka sendiri dan keluarga.
Akhir April lalu, saat pendemik kian memuncak, Presiden Joko 'Jokowi' Widodo sempat merinci stok pangan nasional di seluruh provinsi Indonesia. Secara detail, Jokowi yang pernyataannya dimuat langsung di channel YouTube Sekretariat Presiden pada 28 April 2020, mengungkap, terjadinya defisit beras di tujuh provinsi. Sementara di 23 provinsi lainnya terjadi defisit stok cabai besar. Ia juga merinci defisit cabai rawit di 19 provinsi, defisit stok bawang merah, telur ayam, bawang merah, bawang putih dan gula pasir. Kebutuhan pokok yang masih cukup di 34 provinsi saat itu adalah stok minyak goreng.
Soal ketahanan pangan ini, berdasarkan data dari Food Security Index yang diirilis akhir 2019, Indonesia menempati posisi ke-62 di tingkat global dengan total skor 62,6 (keterjangkauan 70,4; ketersediaan 61,3; dan kualitas dan keamanan, 47,1). Masih jauh di bawah Malaysia (28) dan Thailand (52), apalagi Singapura yang merangsek di posisi pertama.
Indonesia memang masih tercatat lebih baik dibanding dua negara Asia Tenggara lainnya, Filipina (64) dan Sri Lanka (66).
