Ilustrasi kereta api (IDN Times/Arief Rahmat)
Lebih lanjut, Ridho juga mengkritisi proyek investasi dan indikator ekonomi makro di masa pemerintahan Presiden Jokowi.
Dia mengatakan Partai Ummat menyoroti terjadinya inefisiensi investasi di Indonesia yang diukur berdasarkan incremental capital output ratio (ICOR), yakni alat ukur efisiensi perekonomian.
Ketua Umum Partai Ummat ini mengatakan rasio ICOR Indonesia lebih tinggi ketimbang India, Malaysia, Filipina, Vietnam dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya.
"Dalam kurun 2015-2019 ICOR Indonesia mencapai 6,8 yaitu angka yang lebih tinggi dari pada Malaysia (5,4), India (5), Filipina (4,1), dan Vietnam (3,7). Ini menunjukkan bahwa ekonomi nasional Indonesia lebih tidak efisien dibandingkan mereka," kata Ridho.
Mengutip data Kementerian Investasi/BKPM 2019, Ridho menjelaskan, produk yang dihasilkan industri dalam negeri tidak kompetitif. Harga barang menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan negara yang rasio ICOR-nya lebih rendah.
Akibatnya, beberapa biaya pembangunan proyek infrastruktur menjadi mahal. Contohnya, pembangunan jalan tol layang Jakarta-Cikampek Rp350 miliar per kilometer (km). Padahal, kata dia, untuk jalur biasa hanya memakan biaya Rp150 miliar per km.
"Hal yang sama juga terjadi pada proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung yang skema pembiayaan awalnya adalah non-APBN. Tetapi dalam perkembangannya pemerintah akhirnya menyuntikkan tambahan biaya yang sangat mencederai keadilan ekonomi rakyat," ujar Ridho.
Khusus untuk proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung, Ridho ingin agar Jokowi menepati janjinya untuk tidak menggunakan APBN sebagai sumber pembiayaan. "Tidak elok bila seorang pemimpin berbohong terus kepada rakyat," kata dia.
Partai Ummat juga menemukan inefisiensi yang sama di proyek pembangunan food estate 2021 di Kalimantan Tengah, Sumatra Selatan, dan Papua. Ridho mengatakan proyek tersebut memakan biaya sekitar Rp104,2 triliun. Dia menilai proyek ini akan gagal.
"Sejumlah masalah yang timbul dari proyek ini di antaranya adalah deforestasi, biaya logistik yang mahal, dan panjangnya rantai pasok. Ini tak lain bersumber dari lemahnya perencanaan dan terkesan cenderung dipaksakan," kata Ridho.