IDN TImes/Mohamad Ulil Albab
Hasil penelitian antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang partisipasi pemilih pada Pilpres dan Pileg 2014, ditemukan beberapa faktor yang mempengaruhi naik turunnya tingkat partisipasi pemilih.
Pertama, karena faktor ketidaktahuan pemilih tentang sistem pemilihan yang baru, membuat mereka tidak menggunakan hak suara mereka.
Kedua, menyisihkan waktu untuk menggunakan hak suara mereka dianggap sebagian masyarakat mengganggu jalannya perekonomian, karena masyarakat harus berhenti bekerja sejenak.
Ketiga, pemilih merasa suara yang mereka miliki tidak juga mengubah nasib mereka atau tidak meningkakan kesejahteraan ekonomi mereka.
Keempat, karena pandangan politik dari sosok-sosok yang dihormati seperti tokoh agama, tokoh adat, pimpinan keluarga, atau bahkan teman. Jika orang-orang yang mereka hormati mengajak mereka ikut pemilu, kemungkinan besar mereka akan berpartisipasi ikut memberikan suara mereka. Sebaliknya, jika sosok yang dihormati tidak menyarankan mereka menggunakan hak pilihnya, maka mereka tidak akan memilih.
Kelima, adalah persoalan kesukuan. Bila caleg atau capres-cawapres tidak berasal dari suku atau etniknya, mereka enggan memberikan suaranya dalam pemilu. Namun, dari hasil penelitian penjajakan ini ada temuan menarik, di mana partisipasi politik rakyat pada Pilpres 2014di Sulawesi Selatan ternyata cukup rendah. Padahal, salah satu Calon Wakil Presiden, Jusuf Kalla, berasal dari Sulawesi Selatan.
Keenam, kurangnya informasi mengenai pemilu kepada kelompok millennial atau usia muda juga mempengaruhi tingkat partisipasi pemilih, atau mungkin juga akibat belum siapnya mereka berpartisipasi dalam pemilu.
Faktor lain yang menarik dari penelitian penjajakan ini ternyata, rakyat yang tinggal di perkotaan--yang memiliki akses informasi dan transportasi lebih baik ketimbang di pedesaan, justru partisipasi politiknya lebih rendah dibandingkan dengan di pedesaan. Karena informasi yang mereka dapatkan tentang politik justru membuat mereka menjadi apatis terhadap politik dan enggan berpartisipasi dalam pemilu.
Temuan lain yang juga menarik adalah ternyata partisipasi politik perempuan dalam pemilu justru lebih tinggi ketimbang kaum laki-laki. Padahal, secara akal sehat seharusnya kaum laki-laki lebih aktif dalam politik dan memiliki pengetahuan yang lebih banyak tentang politik.
Selain itu, mereka yang menjadi politisi atau calon pejabat secara dominan berasal dari kaum laki-laki, sementara kaum perempuan masih memiliki 184 keterbatasan untuk berpolitik praktis, dan menjadi kepala daerah atau bahkan presiden atau wakil presiden.