Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-11-07 at 15.35.47 (5).jpeg
Suasana SMAN 72 usai terjadi ledakan pada Jumat (7/11/25). (IDN Times/Santi Dewi)

Intinya sih...

  • Meminta penelusuran soal dugaan pemanfaatan anak.

  • Kesepian dijadikan faktor tunggal adalah janggal.

  • Kejanggalan kemampuan dan pembelian perlengkapan bom oleh F.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Eks Komisioner KPAI serta Pemerhati pendidikan dan anak Retno Lisyarti meminta agar polisi bisa mendalami tindakan anak berhadapan dengan hukum (ABH) berinisial F yang menjadi aktor peledakan di SMAN 72 Jakarta. Menurut Retno, pernyataan bahwa anak tersebut bertindak sendiri adalah kesimpulan yang prematur.

Hal itu disampaikan dalam menanggapi pernyataan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Asep Edi Suheri yang mengatakan, aksi pelaku tidak terkait jaringan terorisme. Berdasarkan hasil penyelidikan, tindakan tersebut murni dilakukan secara mandiri tanpa keterlibatan pihak lain dan motif melakukan hanya karena merasa kesepian.

”Saya menilai pernyataan ini terlalu prematur," kata Retno dalam keterangan resmi kepada IDN Times, Jumat (14/11/2025).

1. Meminta ada penelusuran soal dugaan pemanfaatan anak

Pelaku ledakan SMAN 72 ditetapkan sebagai Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH). (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Retno meminta ada penelusuran soal dugaan pemanfaatan anak dalam kasus ini. Dia menjelaskan banyak kejanggalan dalam menarik kesimpulan semua hal yang dilakukan F sebagai ABH dilakukan seorang diri. Mulai dari merakit bom, membeli perlengkapannya, membawanya dan meledakannya

“Pengungkapan dugaan adanya pemanfaat anak-anak untuk melakukan terror di SMAN 72 Jakarta akan sangat bermanfaat ke depannya untuk melindungi anak Indonesia lainnnya di seluruh sekolah di Indonesia. Mari lindungi anak-anak kita," kata dia.

2. Kesepian dijadikan faktor tunggal adalah janggal

Ledakan di SMA 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat (7/11/2025) Siang. (Dok Istimewa)

Dia menjabarkan, pengakuan anak F, motif melakukan tindak pidana ini adalah karena kesepian dan tak punya tempat mengadu atau berkeluh kesah yang kemudian dijadikan motif tunggal oleh kepolisian. Meski menurutnya banyak anak remaja di Indonesia yang saat ini juga kesepian dan mungkin juga memiliki luka batin, namun tidak melakukan tindakan seperti anak F.

"Jadi kalau motif “kesepian” ini dijadikan factor utama terasa janggal," ungkap Retno.

3. Kejanggalan kemampuan dan pembelian perlengkapan bom oleh F

Suasana SMA 72 Jakarta usai ledakan pada Jumat (7/11/2025) siang (IDN Times/Santi Dewi)

Dia juga menjabarkan kejanggalan lain dalam kasus ini. F diketahui merupakan siswa jurusan IPS, namun mampu merakit tujuh bom rakitan dengan daya ledak yang melukai puluhan orang. Kemampuan tersebut dinilai tidak lazim, mengingat bahkan guru kimia di jurusan IPA belum tentu bisa membuat bom, apalagi dalam jumlah sebanyak itu.

Selain itu F adalah iswa penerima KJP yang masih berusia anak. F dinilai Retno tidak mungkin membeli sendiri seluruh perlengkapan perakitan bom dan perangkat remot yang harganya cukup mahal. Aparat diminta menelusuri sumber dana, alur pembelian, serta pihak yang memesan bahan-bahan tersebut, termasuk jejak transaksi di toko daring yang sejatinya dapat dilacak.

4. Dugaan pihak lain dan motif janggal di balik aksi peledakan F

Siswa Kelas X SMA 72 Jakarta mengungkapkan detik-detik terjadinya ledakan (IDN Times/Aditya Mustakim)

Di sisi lain, unggahan media sosial F menunjukkan pose dan gaya yang meniru pelaku serangan sekolah di Eropa. Pola ini dinilai penting untuk ditelusuri lebih jauh melalui riwayat pertemanan digital, percakapan, pesan langsung, hingga histori perangkat elektronik F guna mengungkap apakah ada pihak yang mempengaruhi atau memanfaatkan dirinya.

Teman-teman F juga mengaku bahwa dia sudah menggambar skenario peledakan, termasuk visual sekolah porak-poranda dan bercak darah. Dugaan keterpaparan ide atau pengaruh eksternal pun kembali mencuat.

Kejanggalan lain muncul dari waktu kejadian. Pada hari peledakan, hanya lima siswa kelas XII yang hadir usai pelaksanaan TKA, padahal F disebut ingin membalas dendam pada pembully seangkatannya. Motif tersebut kembali dipertanyakan.

Meski F harus diproses sesuai UU SPPA dan tetap mendapatkan hak-haknya sebagai anak, pihak lain yang diduga terlibat dinilai perlu diungkap aparat penegak hukum.

Editorial Team