Jakarta, IDN Times - Pemerintah Daerah Papua memberikan uang pembubaran duka kepada 11 keluarga korban meninggal dunia dan luka-luka, dalam kerusuhan yang terjadi di Wamena pada 23 Februari 2023. Total uang yang diberikan mencapai Rp5,5 miliar.
Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem, mengatakan uang tersebut bukanlah kompensasi atau santunan dari Pemda bagi keluarga korban.
"Saya sampaikan dan klarifikasi ulang bahwa itu bukan tuntutan keluarga korban. Kami tidak menuntut per kepala, kompensasi atau santunan, karena itu dibiayai oleh pemerintah," ungkap Theo dalam diskusi virtual bertema "Wamena Berdarah 2023: Adakah Unsur Kejahatan Kemanusiaan" yang disiarkan melalui YouTube, Rabu (15/3/2023).
Theo bertindak sebagai mediator antara keluarga korban dengan Pemda. Setelah dipanggil Pemda dan diadakan dialog, akhirnya disepakati pemerintah kabupaten masing-masing bakal memberikan sumbangan senilai Rp1 miliar.
"Itu per kabupaten (sumbangannya). Jadi, (Pemkab) Yahukimo (menyumbang) Rp1 miliar, Jayawijaya Rp1 miliar, Lanijaya Rp1 miliar, dan Nduga Rp1 miliar. Provinsi Papua Tengah mempertanggung jawabkan Rp1,5 miliar. Itu disalurkan kepada keluarga korban meninggal," kata dia.
Theo menyebut bila dana penutup duka itu dianggap masih kurang, maka akan ditanggung Pemkab Lanijaya. Masing-masing Pemkab bertanggung jawab lantaran itu merupakan kabupaten asal dari korban.
"Dua hari kemudian saya dipanggil oleh Sekda lalu diberikan uang duka Rp500 juta per korban, dan babi delapan ekor. Babi itu yang disumbangkan oleh masyarakat Lanijaya," ujarnya.
Meski sudah menerima uang pembubaran duka, kata Theo, keluarga korban tetap menuntut proses hukum harus tetap berjalan terhadap pelaku yang menyebabkan anggota keluarganya tewas. Dalam forum diskusi itu, Theo mengisahkan kerusuhan di Wamena dipicu hoaks adanya anak perempuan yang diculik dua warga pendatang.
Theo sudah menemui dua laki-laki yang dituding hendak menculik anak perempuan. "Satu tinggal di Papua sudah dua tahun, satu lagi baru dua bulan. KTP-nya pun bukan KTP Jayawijaya, tapi KTP luar, kampung orang Batak," tutur dia.
Lalu, bagaimana kronologi kerusuhan Wamena bisa terjadi karena dipicu hoaks yang beredar di sana?
