Khusus untuk peternak, Fadjar meminta agar peternakan tidak memberikan sisa-sisa makanan dapur atau sampah (SWILL) yang mengandung daging babi atau produk daging babi yang kurang dimasak atau tidak dimasak.
“Apabila langkah-langkah tersebut kita bisa jalankan dengan benar, dan system surveilans bisa dilaksanakan dengan tepat, maka saya optimistis populasi babi di Indonesia yang berjumlah 8 juta ekor lebih dapat kita lindungi dari ancaman ASF,” ujarnya.
Andri Jatikusumah, National Technical Adviser dari FAO ECTAD Indonesia menambahkan alasan kenapa Indonesia perlu mewaspadai ancaman penyakit hewan ASF. Di antaranya, sampai saat ini belum ditemukan vaksin anti-ASF dan tidak ada pengobatan apabila sudah terjadi kasus. Satu-satunya cara untuk mencegah penyebaran dan mengendalikan kasus apabila sudah terjadi adalah dengan cara memusnahkan babi-babi tersebut.
Walaupun beberapa negara Eropa berhasil memberantas penyakit ini, namun sampai akhir Oktober 2018, sebaran penyakit ASF masih cukup banyak di dunia. Berdasarkan kajian analisa risiko, Indonesia harus mewaspadai kemungkinan masuknya ASF melalui pemasukan daging babi dan produk babi lainnya.
“Sisa-sisa chatering transportansi internasional (laut dan udara), serta orang yang terkontaminasi virus ASF dan kemudian kontak dengan babi di Indonesia juga harus diwaspadai,” tambah Ketua Komisi Ahli Kesehatan Hewan Indonesia Tri Satya Putri Naipospos.