Aksi Kamisan ke-576 di depan Istana Negara (IDN Times/Axel Jo Harianja)
Dari pasal yang disangkakan, lanjut Miko, terlihat jelas terdapat pemaksaan delik yang berujung pada kesewenang-wenangan (arbitrary). Pertama, Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat (2) UU ITE memuat inti delik “penyebaran informasi yang menimbulkan permusuhan atau kebencian berdasarkan SARA”.
"Delik ini tidak tepat sama sekali diterapkan pada kasus ini, karena delik ini memuat unsur berbasis SARA. Tidak ada satupun muatan SARA dalam orasi RR (Robertus Robert)," ujar Miko.
Kedua, Pasal 14 ayat (2) juncto Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana memuat inti delik “dengan menyiarkan berita bohong dengan sengaja membuat keonaran” dan “dengan sengaja menyiarkan kabar yang tidak pasti, berlebihan, dan tidak lengkap”.
"Delik ini kembali tidak tepat digunakan karena harus ada unsur penyiaran berita atau informasi dari tindakan yang ia lakukan. Sementara apa yang dilakukan RR sama sekali tidak memenuhi unsur penyebaran berita atau informasi ini," ucap Miko.
Ketiga, Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Delik ini memuat unsur “dengan sengaja menghina penguasa atau badan umum di muka umum melalui lisan maupun tulisan”.
" Perlu diperhatikan bahwa yang dinyanyikan oleh RR adalah bentuk satir yang pada era 1998 seringkali dinyanyikan elemen demokrasi dalam mendorong Reformasi TNI. Selain itu, terdapat kata-kata "ABRI” yang sudah dihapus melalui TAP MPR No. VI dan VII Tahun 2000, UU Pertahanan Negara, UU TNI, dan UU POLRI," beber Miko.
Selanjutnya, Miko menuturkan, perlu diperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022 yang menyatakan bahwa “penuntutan terhadap Pasal 207 ke depan seharusnya dilakukan dengan berdasar pada delik aduan".
"Dengan demikian, pihak yang merasa dihina dalam delik itu sudah hilang dengan sendirinya dan pasal ini tidak tepat sama sekali diterapkan," lanjut Miko.