Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur (IDN Times/Santi Dewi)
Sementara, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menyebut usulan penundaan pemilu tak hanya akan melanggar konstitusi, melainkan berbahaya untuk kehidupan demokrasi dan iklim negara hukum di Indonesia.
"Rencana penundaan pemilu sesungguhnya telah melanggar konstitusi sebagaimana dalam Pasal 7 Jo 22 E ayat (1) UUD NRI 1945 yang memuat dua prinsip yang harus ditaati, yaitu penghormatan terhadap hak sipil dan politik warga negara serta pembatasan terhadap kekuasaan politik," kata Isnur.
Senada dengan ICW, Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto juga menilai, penundaan Pemilu 2024 berpotensi menurunkan skor indeks demokrasi Indonesia yang saat in belum dapat dikatakan baik.
“Dua penyumbang skor yang banyak (terhadap akumulasi skor indeks demokrasi Indonesia tahun 2021 yang diluncurkan The Enonomist Intelligence Unit dengan nilai 6,71 dan berada di peringkat 52 dari 167 negara) adalah partisipasi politik masyarakat sebesar 7,22 dan adanya pelaksanaan pemilu dengan nilai 7,9,” ujar Wijayanto saat menjadi narasumber dalam diskusi virtual LP3ES bertajuk “Menunda Pemilu, Membajak Demokrasi” dipantau dari Jakarta, Selasa, 1 Maret 2022.
Sehingga, kata dia, apabila pemilu ditunda atau masa jabatan presiden diperpanjang menjadi tiga periode, Indonesia tidak dapat dianggap memiliki pemilu yang teratur, baik, dan demokratis. Dengan kata lain akan menghilangkan faktor yang mendukung peningkatan indeks demokrasi di Tanah Air.
“Dapat dengan mudah dikatakan skor indeks demokrasi Indonesia akan jeblok (apabila Pemilu 2024 ditunda),” kata Wijayanto.
Dia mengumpamakan keadaan demokrasi di Indonesia saat ini selayaknya sebuah rumah yang tengah mengalami banjir setinggi leher, namun sekarang banjir itu menyurut menjadi setinggi lutut.
Dengan demikian, menurut Wijayanto, meskipun skor indeks demokrasi Indonesia pada 2021 meningkat dibandingkan 2020 yang bernilai 6,30 dan menduduki peringkat 64, bukan berarti keadaan demokrasi di Indonesia benar-benar baik.
“Jadi, sebenarnya masih kebanjiran. Masih mundur demokrasinya,” ujar dia.
Wijayanto memaparkan bukti konkret peran partisipasi politik dalam menyumbangkan nilai yang mampu memperbaiki skor indeks demokrasi Indonesia pada 2021.
“Bukti konkretnya, masih ada masyarakat sipil, seperti lembaga bantuan hukum (LBH), Indonesia Corruption Watch (ICW), Lembaga Survei Kedai Kopi, LP3ES yang terus menerus melakukan partisipasi politik untuk menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Lalu, ada tindakan masyarakat sipil turun ke jalan, seperti saat KPK dilemahkan, Omnibus Law disahkan. Jadi, skor kita itu naik, salah satunya karena ada partisipasi politik ini,” kata dia.