Satu-satunya dokumentasi yang saya punya saat meliput aksi Women's March di Jakarta pada 27 April 2019. Di saat yang sama saya bertemu Joko Anwar. Dok.pribadi
Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya saya meliput aksi dengan menggunakan celana pendek. Saya pernah mengenakannya ketika meliput Women’s March pada April 2019 lalu di Jakarta.
Kala itu, tidak ada kejadian yang membuat saya tidak nyaman. Ketika berangkat pun tidak ada rasa khawatir yang menggerayangi pikiran. Tentu ada satu atau dua orang yang tidak setuju dengan apa yang saya pakai, karena menilai saya mencoreng nama baik media tempat saya bekerja.
Selebihnya, memilih diam atau tidak menganggap ada persoalan pada pakaian saya. Sejauh ini tidak pernah ada teguran apa pun kepada saya dari atasan, jadi saya anggap baik-baik saja.
Yang merasa tidak baik-baik saja adalah empat ibu-ibu berniqab. Salah satu kesialan yang disebabkan pemerintah pada demo kemarin adalah diberlakukannya throttling atau pelambatan sinyal di area sekitar demonstrasi.
Akibatnya, saya harus menyingkir ke trotoar seberang gedung DPRD. Persisnya di depan Masjid Kemayoran. Ibu-ibu tersebut tak berusaha menutupi ketidaksukaan mereka terhadap pakaian saya.
Sambil memandangi dari atas ke bawah, salah satunya menyindir,”Ben isis be’e (biar sejuk mungkin)”. Akan tetapi karena prioritas saya adalah mengirim berita, tentu mereka tidak terlalu saya pedulikan. Setelah berita terkirim, saya teringat kepada dua remaja 14 tahun, Barok dan Arya.
Beberapa saat sebelumnya, saya melihat keduanya seperti terasing dari massa, lalu saya ajak bicara. Mereka mengaku ikut demonstrasi karena kesadaran sendiri. “Memang apa yang kalian anggap bermasalah?” tanya saya secara spontan.
“Ya, misalnya kayak perempuan pulang malam lalu didenda. Kan kasihan yang kerja,” kata Barok. Di balik masker, saya tersenyum mendengar jawaban itu. Saya pun meminta salah satunya memberikan pendapat soal pakaian saya.
Barok kembali merespons. Ia merasa bisa saja ada yang mencolek saya karena berpakaian begitu. “Gimana ya… Mungkin khawatir aja,” tambahnya.
Tidak ada yang mencolek saya. Beberapa anggota massa memandangi, mengeluarkan komentar-komentar tidak layak, berusaha menggoda atau bisa juga kita sebut catcalling. Namun, sedih rasanya saat yang melakukannya adalah aparat dan wartawan. Salah seorang teman yang bersama saya dalam dua jam terakhir jadi saksinya.
“Cantik kok gak di kantor aja, malah jadi wartawan? Nanti hitam lho,” kata seorang bapak yang juga berprofesi sebagai jurnalis. Sementara beberapa aparat berbisik-bisik dengan sesama rekannya, mencoba menahan tawa sambil melihat ke arah saya.