Ukurannya 3 kali 7 meter di dalamnya cuma ada satu tempat tidur, sebelahnya ada lemari, kemudian ada kursi satu itu pun saya minta untuk kemudian duduk dan menulis atau ngetik.
Hari ke berapa ya, saya dikirim TV, ini juga karena wifi-nya gak stabil koneksinya. Kadang saya nonton TV tapi gak terlalu sering juga. Saya lebih banyak baca, menulis, zoom, konferensi atau skype dengan para sahabat dengan keluarga dan lain lain.
Dua minggu pertama saya gak bisa keluar karena katanya jadi walaupun ada Balkon, tapi saya gak bisa keluar, karena katanya airbone, menular di udara.
Jadi saya nyolong-nyolong di pojok ruangan itu ada cahaya sinar matahari masuk, nah saya baca banyak orang berdebat sinar matahari yang bagus jam berapa, ada yang bilang sebelum jam 8, ada yang bilang jam 10. Tapi saya gak punya pilihan karena sinar matahari itu hanya masuk ke pojok ke kamar saya 07.30 sampai 08.30 WIB, jadi saya di pojokkan untuk standby.
Baru Kemudian setelah dua minggu dokter kasih tahu. 'Pak Wali, WHO sudah meralat sudah merevisi ini gak airbone. Jadi bapak boleh keluar,'. Saya bilang kenapa gak dari awal. Jadi, setelah minggu kedua saya ke balkon mulai bisa menikmati berjemur di kamar. Pemandangannya terbatas. Sebelah kamar saya itu rumah susun.
Di balkon kadang-kadang video call, sambil baca, sambil zikir, kadang- kadang saya ngamati aja pola-pola yang ada seperti misalnya selalu ada suara-suara aneh di jam jam tertentu. Di pagi hari dan sore, ada suara orang gitu ya yang agak bernyanyi panjang saya pikir apa, nah begitu saya ke balkon boleh keluar ternyata itu tukang gorengan dengan suara yang khas. Selama dua minggu saya gak tahu itu suara apa.