Selanjutnya, Tito pun menerangkan tentang peristiwa penyerangan yang terjadi di Mako Brimob pada 8 Mei 2018 lalu. Menurutnya, ia tak berpendapat bahwa kasus di Mako Brimob hanya karena makanan. Makanan yang dikirim oleh keluarga memang seharusnya diperbolehkan masuk, tapi saat itu dilarang. Alasannya, karena takut adanya racun atau jatuh sakit, sehingga yang bertanggungjawab adalah polisi.
Kemudian, mengenai isu Alquran diinjak, Tito pun membantah hal itu. Anggota polisi yang ada disitu, tentunya paham betul norma dan kultur, sehingga hal tersebut tidak mungkin terjadi.
"Ada lagi isu bahwa ada tahanan istri yang mau masuk digeledah. Tidak mungkin. Kalau pun ada penggeledahan, pasti oleh polwan. Ini paham betul. Pasti akan menimbulkan kemarahan," ucap Tito.
Permasalahan lainnya juga, rutan tersebut bukan lah rutan untuk teroris. Bukan rutan maximum security. Tito menjelaskan bahwa rutan tersebut sejarahnya adalah untuk anggota polri yang terlibat tindak pidana. Rutan tersebut disiapkan, karena jika anggota polri yang terlibat pidana dimasukkan ke dalam rutan biasa, anggota polri itu bisa menjadi sasaran empuk kelompok pelaku yang pernh ia tangkap.
"Makanya pada kesempatan ini juga saya pikir perlu didorong mengenai UU terhadap penegak hukum. Penegak hukum yang tertangkap itu jangan dijadikan satu dengan rutan biasa," kata dia.
Lebih lanjut, terkait dengan tahanan teroris wanita yang ada di Rutan Mako Brimob, Tito menerangkan bahwa dia adalah pelaku teror bom panci dari Bandung yang benama Novi. Novi pada waktu itu ingin melakukan serangan bunuh diri oleh kelompoknya dari Bandung, dengan keadaan hamil. Setelah Novi tertangkap, ia pun ditaruh di Mako Brimob dan melahirkan di sana.
"Yang mengurus, Sulastri itu. Yang dipukul itu. Kemudian kita melihat ditahanan itu ada tahanan wanita Novi ini dan bayinya," terangnya.
Permasalahan selanjutnya adalah mengenai kapasitan rutan yang idealnya untuk 64 orang, melainkan diisin dengan 156 orang. Dan seharusnya, para tahanan terorisme dipindahkan ke lapas yang lebih aman.
"59 di antaranya, harusnya segara dikirim. Tapi saya tanya kenapa tidak dikirim, karena tidak kesiapnya di lapas lain. Karena kalau ditaruh di lapas yang bergabung dengan tahanan lain, mereka mempengaruhi napi-napi lain jadi teroris juga. Sehingga kita menbutuhkan maximum security yang ada perlakuan kusus kepada mereka," ujar Tito.
Jadi, peristiwa di Mako Brimob ada dua, yaitu penyerangan yang mengakibatkan lima petugas meminggal dunia, dan dua tahanan tertembak, satu meninggal dunia, satu lagi mengalami luka. Terkait kasus penyanderaan, Tito menjelaskan ada dua opsi. Pertama, diserbu langsung atau dengan langkah-langkah menunda penyerbuaan, melalui peringatan.
Namun, Tito memaparkan, teknik operasi penyaderaan, kesuksesannya adalah bila sandera hidup. Jika yang disandera meninggal, meskipun yang menyandera juga ikut meninggal, maka akan dikatakan gagal.
"Kedua, risiko karena ada wanita dan bayi. Dan wanita ini sudah diteriakin berkali-kali untuk keluar, gak mau keluar. Karena memang dari dulu pengen bunuh diri. Bayinya pun pasti dipegangi," jelasnya.
"Bayangkan, kalau itu diserbu yang meninggal pertama kali adalah Brigadir Irwan. Jam 12 malem dia dilepas. Kemudian yang kedua, yang perempuan dan bayi tidak mau keluar. Maka kami siapkan plan b. Plan b kalau tidak mau keluar, kami lakukan penyerbuan dengan teknik tertentu. Dengan korban minimal," lanjut Tito.
Saat itu, tambah dia, presiden telah tegas menyuruh kepolisian untuk segera bertindak. Dan teknisnya diserahkan kepada Kapolri.
"Opsi saya adalah bagaimana pun korban harus minimal dan saat itulah opsi itu yang diambil ternyata mereka semua keluar, senjata ditinggalkan, sehingga ini selesai, kita akan proses itu," terang Tito.
Untuk keuarga korban diberikan donasi. Dan kepada anggota Polri yang telah gugur, diberikan juga pangkat luar biasa oleh presiden.