(Ilustrasi desa) ANTARA FOTO/Jojon
Sementara itu, Warga Desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Irfanamin, mengaku tak setuju dengan usulan masa perpanjangan jabatan kepala desa. Usulan itu dianggap tak memiliki urgensi untuk dikabulkan dalam revisi UU Desa.
"Perpanjangan masa jabatan kades itu tidak diperlukan, karena tidak ada urgensi yang bisa ditunjukkan secara konkret kalau tugas kades perlu selama sembilan tahun. Karena enam tahun sudah cukup untuk mengembangkan program kerja yang mereka rancang saat mencalonkan diri," ucap dia kepada IDN Times, Sabtu (21/1/2023).
Sebaliknya, kata Irfanamin, jabatan yang terlalu lama justru menjadikan kepala desa seperti raja kecil yang memiliki kewenangan terlalu luas.
"Kalau terlalu lama, kades bisa jadi raja kecil di desa dan bisa bersikap seenaknya dan berpotensi membangun dinasti di wilayah masing-masing," imbuh dia.
Warga lainnya, dari Kutoarjo, Purworejo, Jawa Tengah, Taufiq Idharudin, juga menentang usulan perpanjangan masa bakti kepala desa. Alasannya dia mengacu pada analisis Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyatakan anggaran dana desa merupakan dana yang paling rentan dikorupsi.
Pada semester I 2021, pemerintah desa menjadi lembaga pelaku kasus korupsi terbesar. Dia mencurigai usulan tersebut justru memuat kepentingan politik
"Lha itu, pemdes jadi lembaga terkorup, harusnya semakin dibatasi dan perketat pengawasan. Dilihat-lihat ini usulannya lebih ke politis," ucap Taufiq saat dihubungi.
Oleh sebab itu, Taufiq mengimbau usulan tersebut bisa dipertimbangkan dengan matang oleh pengambil kebijakan, baik pemerintah maupun DPR.
"Usulan perpanjangan kepala desa harus dikaji secara mendalam. Masa jabatan yang ada sekarang perlu dievaluasi terlebih dahulu, apakah memang perpanjangan itu benar-benar dibutuhkan. Jangan sampai, aspirasi ini ternyata hanya menguntungkan kelompok tertentu dan bernuansa politis semata," imbuh dia.