Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Dokumentasi tim media Prabowo
Presiden RI Prabowo Subianto menyaksikan langsung sailing pass atau parade kapal perang TNI Angkatan Laut di Teluk Jakarta, Kamis (2/10/2025) (dok. Tim Media Prabowo)

Intinya sih...

  • Presiden Prabowo dinilai abai pada prinsip meritokrasi

  • Promosi dan mutasi dianggap terjadi pada individu dengan akses politik dan ekonomi

  • Koalisi Masyarakat Sipil mendesak kembalinya prinsip meritokrasi pada pemerintahan Prabowo

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Sejumlah lembaga sosial masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil menilai pesan yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto pada puncak HUT ke-80 TNI pada 5 Oktober lalu tentang promosi dan mutasi, keliru. Prabowo meminta agar kepemimpinan di TNI harus berdasarkan keteladanan, prestasi, dan rasa cinta Tanah Air. Jadi, bukan mengandalkan senioritas semata.

Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, pernyataan Prabowo tidak tepat. Persoalan mutasi dan promosi saat ini di TNI karena adanya politisasi yang kental di institusi militer itu.

"Sehingga kenaikan pangkat dan jabatan lebih karena faktor politis dan kedekatan politik," ujar Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, dalam keterangan tertulis yang dikutip Rabu (8/10/2025).

PBHI termasuk anggota Koalisi Masyarakat Sipil yang lantang menyuarakan reformasi TNI. Julius menyebut masalah yang saat ini terjadi terkait mutasi serta promosi bukan terkait senior dan junior yang tidak berpengalaman.

"Masalah utamanya adalah politik. Di mana sejak era Presiden Jokowi dan hingga saat ini pertimbangan promosi prajurit TNI lebih banyak karena kedekatan politik," katanya.

Meritokrasi, kata Julius, tidak bekerja dan berjalan, karena adanya intervensi kekuasaan yang lebih dominan ketimbang kompetensi, pengalaman, dan profesionalitas.

1. Prabowo sejak awal dinilai sudah abai pada prinsip meritokrasi

Presiden Prabowo Subianto meninjau situasi gladi bersih HUT ke-80 TNI di Silang Monas, Jakarta Pusat. (www.instagram.com/@sekretariat.kabinet)

Koalisi menilai sejak awal Prabowo sudah mengabaikan prinsip meritokrasi, dan malah menjadikan faktor kedekatan serta kesetiaan pada kekuasaan dirinya sebagai salah satu pertimbangan untuk mutasi dan promosi di tubuh TNI. Mutasi dan promosi, menurut koalisi, dilakukan tanpa mempertimbangkan prestasi.

"Kasus kenaikan pangkat luar biasa bagi Letkol Inf Teddy Indra Wijaya menjadi contoh nyata bagaimana presiden memangkas meritokrasi. Pengangkatan Teddy ketika itu menjadi kontroversi," kata koalisi.

Analis militer dari Universitas Nasional, Selamat Ginting, juga memiliki pendapat senada dengan Koalisi Masyarakat Sipil. Ia menilai kenaikan pangkat Teddy Indra Wijaya dari Mayor menjadi Letnan Kolonel penuh kejanggalan. Sebab, prajurit aktif TNI Angkatan Darat (AD) itu belum memenuhi syarat dari segi pendidikan dan masa berdinas di militer untuk mendapat pangkat tersebut.

Analisa itu berbeda dari pernyataan yang disampaikan TNI AD, yang menyatakan pemberian pangkat Letkol kepada Teddy telah sesuai aturan yang ada. 

"Celakanya Teddy Indra Wijaya juga belum lulus Diklapa II. Dia juga belum mengikuti Seskoad," ujar Selamat di Jakarta pada 7 Maret 2025.

Selamat menyebut untuk bisa mencapai pangkat Letkol, rata-rata lulusan Akmil membutuhkan waktu sekitar 18 tahun. Artinya, Teddy diperkirakan baru bisa diberikan pangkat Letkol pada 2029, itupun bila kariernya di dunia militer berjalan mulus. 

2. Koalisi nilai promosi dan mutasi cenderung terjadi pada individu yang punya akses politik

Presiden Prabowo Subianto meninjau situasi gladi bersih HUT ke-80 TNI di Silang Monas, Jakarta Pusat. (www.instagram.com/@sekretariat.kabinet)

Koalisi Masyarakat Sipil juga menyebut promosi dan mutasi cenderung hanya terjadi pada prajurit TNI yang memiliki akses politik dan ekonomi kepada kekuasaan. Bagi militer yang tidak memiliki akses ekonomi dan kekuasaan, maka akan kesulitan untuk mendapatkan promosi dan mutasi.

"Dampak yang terjadi yakni sejumlah perwira senior yang memiliki pengalaman dan prestasi, kesulitan mendapatkan promosi, karena tidak memiliki akses politik dan kekuasaan," kata koalisi.

Sedangkan, fakta memperlihatkan adanya perwira junior yang memiliki akses politik dan kekuasaan, mendapatkan kenaikan pangkat secara fantastis. Hal ini terjadi pada Teddy.

"Hal ini mengabaikan meritokrasi di tubuh TNI sekaligus pembenaran kesalahan praktik yang dilakukan oleh presiden," sebut koalisi.

3. Koalisi Masyarakat Sipil desak promosi dan mutasi harus kembali gunakan prinsip meritokrasi

Ilustrasi prajurit Kostrad ketika HUT ke-80 TNI di Monas pada 5 Oktober 2025. (IDN Times/Santi Dewi)

Dalam kasus pemberian kenaikan pangkat Teddy menjadi contoh nyata kontrol sipil malah subjektif, bukan obyektif yang mengedepankan pembagian otoritas dan keahlian yang jelas. Selain itu, Koalisi Masyarakat Sipil juga melihat kontradiksi antara amanat Prabowo dengan politik hukumnya dalam merevisi Undang-Undang TNI.

Melalui UU Nomor 3 Tahun 2025 (UU TNI), para perwira senior juga diberikan kesempatan duduk lebih lama dalam pangkat jabatannya. Sebab, dalam UU baru TNI diatur soal perpanjangan masa pensiun.

"Padahal, perpanjangan pensiun yang juga menjadi salah satu faktor masalah kemandekan promosi dan mutasi berupa penumpukan pada level perwira menengah, sehingga menghambat dan menyulitkan proses regenerasi organisasi," kata koalisi.

Maka, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar prinsip meritokrasi kembali dijadikan panduan dalam rangka memberikan kenaikan promosi dan mutasi di tubuh TNI. Hal itu untuk menghindari terjadi kontestasi antar prajurit dengan mengabaikan penghormatan terhadap konstitusi, serta perundang-undangan yang berlaku dan penghormatan HAM.

Editorial Team