Peta Oposisi Jelang Pilpres 2024, PKS dan Demokrat Terancam Gigit Jari
.jpg)
Jakarta, IDN Times - Partai politik kini mulai memanaskan mesin partai, meski pemilihan umum (Pemilu) 2024 masih jauh, tak terkecuali partai oposisi. Mereka mulai ancang-ancang menghadapi Pilpres 2024.
Usai Pilpres 2019, oposisi di pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo ada PKS, PAN, sampai Partai Demokrat. Sedangkan, dari ormas ada kelompok Persaudaraan Alumni (PA) 212 yang getol mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Partai Gerindra malah meninggalkan oposisi usai Ketua Umumnya Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan pada era pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin.
Meramal Pilpres 2024, apakah para oposisi ini akan menjadi koalisi pada Pemilu 2024? Sebab, PAN kini pun sudah loncat ke partai koalisi pendukung pemerintahan Jokowi. Sisa PKS dan Demokrat di oposisi.
"Koalisi untuk Pilpres itu akan cair lagi, beda lagi petanya. Tergantung siapa capres dan cawapres yang memiliki elektabilitas tertinggi. Koalisi capres dan cawapres 2024, masih bisa bertemu, misalnya NasDem dengan PKS atau lain sebagainya," ujar pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta, Ujang Komarudin.
Karena sifat politik parpol di Indonesia tidak ada yang berbasis ideologis sehingga tidak ada oposisi atau koalisi yang permanen, selalu berubah.
"Semuanya berbasis kepentingan. Koalisi Pilpres 2024 masih banyak skenario," sambung dia.
Meski begitu, sebagian oposisi kini terlihat sudah mulai menyusun strategi untuk Pemilu 2024. Bagaimana meramal peta politik jelang Pilpres 2024?
1. Novel Bamukmin ingin jadi cawapres 2024 karena bela ulama
Usai Pemilu 2019, PA 212 jarang terdengar. Kini mereka muncul kembali, setelah Wasekjen PA 212, Novel Bamukmin, menyatakan diri ingin menjadi calon wakil presiden (cawapres) pada Pilpres 2024.
"Saya terpanggil maju sebagai cawapres karena prihatin dengan ulama yang jadi wapres," kata Novel saat dihubungi, Rabu (18/8/2021).
"Wajib saya maju untuk memerdekakan para ulama, aktivis serta tokoh karena wapres sekarang yang kiai sudah tak berdaya," dia menambahkan.
Bagi Novel, menjadi calon presiden (capres) atau cawapres merupakan hak setiap warga negara Indonesia untuk memilih dan dipilih. Dia mengaku ingin menjadi cawapres karena Indonesia dikuasai 'pengkhianat' negara. Namun siapa yang dimaksud pengkhianat itu, Novel tak menjelaskannya.
Menurut Novel hukum di Indonesia masih mengalami diskriminasi lantaran banyak koruptor yang diberi hukuman ringan.
"Karena saat ini saya melihat rezim ini dikuasai oleh para pengkhianat negara dan Pancasila sampai penegak Pancasila (ulama) dikriminalisasi. Untuk itu saya harus siap berkorban untuk negara dan bangsa. Jangankan tidak digaji sebagai cawapres, bahkan siap miskin habis-habisan," ujarnya.
Perihal berkomunikasi dengan partai politik agar dirinya dipinang menjadi cawapres, Novel tidak mengungkapkan. Dia hanya mengklaim memiliki banyak pengalaman.
"Jadi memang latar belakang saya sebagai da'i, praktisi hukum, penggiat media (yaitu) mantan ketua Media Center PA 212, juga politikus/caleg terfenomenal, juga aktivis kemanusiaan," ucap Novel.
Sementara, Ketua Umum PA 212, Slamet Ma'arif menyatakan secara keorganisasian belum memutuskan akan mengusung dan mendukung siapa capres atau cawapres pada Pilpres 2024. Dia menilai keinginan Novel maju sebagai cawapres hanya keinginan pribadi.
"Bukanlah (keinginan PA 212, itu keinginan pribadi Novel). Secara organisasi (PA 212) belum memutuskan apa-apa. (Pilpres 2024) masih jauh," ucap Slamet.
Meski begitu, Slamet tak mempermasalahkan keinginan Novel Bamukmin menjadi cawapres pada Pilpres 2024.
Meski belum memikirkan akan mendukung capres-cawapres, Slamet menegaskan PA 212 tidak akan mendukung PDIP. "Berpikir 1.000 kali untuk dukung paslon (pasangan calon) yang diusung PDIP," ucap dia, tanpa bersedia menyebut alasannya.
Sementara, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, menilai nama dan eksistensi PA 212 sudah tidak laku lagi pada Pilpres 2024.
"Sudah gak kuat. Alasannya ya kan PA 212 itu kan banyak pentolan, aktivis FPI (Front Pembela Islam) kan. FPI kan sudah dibubarkan, secara tidak langsung, secara struktural dan konsolidasi mereka lemah," kata Adi, saat dihubungi, Kamis (19/8/2021).
"Jadi itu yang menurut saya ya, PA 212 tidak akan menjadi organisasi penting, tidak dilirik oleh para calon gitu," dia menambahkan.
Menurut Adi, basis massa PA 212 sudah tidak ada, hanya menyisakan beberapa pentolannya. Di sisi lain, dukungan ormas ini juga tidak bisa memenangkan Prabowo-Sandiaga pada Pilpres 2019.