ilustrasi lalu lintas di kawasan Gatot Subroto, Jakarta (IDN Times/Amir Faisol)
Adapun Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian meluruskan rumor tentang Dewan Kawasan Aglomerasi disiapkan untuk Gibran. Menurut Tito, nama aglomerasi itu diputuskan melalui grup diskusi (FGD).
Tujuannya, agar ada harmonisasi dan sinkronisasi program. Konsep ini juga telah dibahas sejumlah pakar tata kota dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia, dan UGM.
Pemerintah, kata dia, bahkan turut menggandeng pakar hukum tata negara untuk memberikan masukan terkait perancangan RUU DKJ.
Tito menjelaskan, hal itu sudah dibahas sejak April 2022. Sehingga bila merujuk ke masa itu, belum dibentuk koalisi parpol menjelang Pemilu 2024.
"Apalagi paslonnya. Kita belum tahu ketika diadakan FGD itu. Di situ lah muncul harmonisasi pembangunan mulai dari perencanaan hingga evaluasi," ujar Tito.
Menurut dia, sebelum menjatuhkan pilihan penyebutan aglomerasi, sempat juga muncul ide lain seperti Metropolitan atau Megapolitan.
"Banyak yang menjadi permasalahan bersama, mulai dari lalu lintas, banjir, migrasi penduduk. Bahkan, merembet juga ke masalah kesehatan seperti COVID-19 dan lain-lain," kata dia.
"Makanya, perlu harmonisasi dan evaluasi program. Saat itu ada beberapa istilah yang muncul. Apakah membentuk kawasan Metropolitan Jakarta, Jadebotabekjur, atau namanya Megapolitan atau namanya Aglomerasi," imbuhnya.
Mantan Kapolri itu menjelaskan, jika menggunakan istilah Megapolitan atau Metropolitan, seolah-olah kota satelit atau penyangga itu akan dijadikan satu pemerintahan dengan Jakarta.
"Konsep ini banyak ditentang karena akan mengubah banyak undang-undang. Mulai dari UU Jawa Barat, UU Banten, UU Kota Depok, UU tentang Kota Bekasi," katanya.
"Akhirnya disepakati saat itu disebut saja wilayah itu aglomerasi yang berarti tidak ada keterikatan administrasi pemerintahan. Tapi, ini kawasan yang perlu diharmonisasikan program-programnya. Terutama yang menjadi problem bersama," imbuhnya.