ilustrasi pembayaran pajak motor (IDN Times/Arief Rahmat 2019)
Rencana pemerintah mengenakan pajak sembako sebesar 12 persen tertuang dalam draf rancangan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983, tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Rencana untuk mengenakan pajak bagi produk sembako diatur dalam Pasal 4A draf revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983.
Dalam rancangan beleid itu, barang kebutuhan pokok serta barang hasil pertambangan atau pengeboran dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN. Bila dihapuskan, maka barang tersebut akan dikenakan PPN 12 persen.
Staf khusus Menteri Keuangan bidang komunikasi strategis Yustinus Prastowo tak membantah soal kemungkinan sembako yang bakal dikenakan pajak sebesar 12 persen. Tetapi, ia menegaskan, pemerintah tidak akan membabi buta dalam memungut pajak.
Di sisi lain, Prastowo juga tak menepis bila pada situasi pandemik seperti saat ini, pemerintah membutuhkan uang.
"Kembali ke awal, gak ada yang tak butuh uang, apalagi akibat hantaman pandemik. Tapi, dapat dipastikan pemerintah tidak akan membabi buta. Justru, konyol bila pemulihan ekonomi yang hendak diperjuangkan mati-matian justru dibunuh sendiri. Mustahil," cuit Prastowo melalui akun Twitternya, @prastow, Rabu, 9 Juni 2021.
Ia menjelaskan kebijakan ini akan menjadi rencana jangka panjang. Khususnya setelah terjadi pandemik. Prastowo tak membantah gara-gara pandemik pula penerimaan negara ikut terhambat.
"Jadi, mumpung pandemik dan pajak diarahkan sebagai stimulus, kita pikirkan secara paralel desain dan konsolidasi kebijakan yang menjamin sustainabilitas di masa mendatang," tutur Prastowo.
Dalam cuitan itu, Prastowo juga menjelaskan pemerintah tengah mengatur ulang strategi penerimaan PPN. Saat ini, pemerintah dinilai terlalu baik, lantaran banyak barang atau jasa yang justru dikecualikan agar tak dipungut pajak tanpa mempertimbangkan jenis, harga dan kelompok yang mengonsumsi produk itu.
"Baik itu beras, minyak goreng, atau jasa kesehatan dan pendidikan, misalnya. Apapun jenis dan harganya, semua bebas. Pengaturan yang demikian justru menjadikan tujuan pemajakan tidak tercapai, karena yang mampu bayar tak membayar karena mengonsumsi barang atau jasa yang tidak dikenakan PPN," kata dia.
"Ini fakta. Oleh sebab itu kita perlu memikirkan upaya menata ulang agar sistem PPN kita lebih adil dan fair," sambung Prastowo.