Jakarta, IDN Times - Sejak muncul Virus Corona atau COVID-19 di Indonesia, ada istilah baru yang dikenal masyarakat Indonesia: rapid test dan swab test.
Rapid test merupakan metode skrining awal untuk mendeteksi antibodi, yaitu IgM dan IgG, yang diproduksi tubuh untuk melawan virus Corona. Antibodi ini akan dibentuk tubuh bila ada paparan virus Corona.
Sedangkan swab test menggunakan sampel lendir yang diambil dari dalam hidung maupun tenggorokan. Pemeriksaan ini dinilai lebih akurat sebagai patokan diagnosis. Sebab virus corona akan menempel di hidung atau tenggorokan bagian dalam saat masuk ke tubuh. Sampel lendir yang diambil dengan metode swab nantinya akan diperiksa menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Hasil akhir dari pemeriksaan ini, nantinya akan benar-benar memperlihatkan ada tidaknya virus SARS-COV2 (penyebab Covid-19) di tubuh seseorang.
Perdebatan pun muncul, mengapa tetap harus menggunakan rapid test jika hasilnya tidak akurat? Apalagi pemerintah daerah harus menggelontorkan uang ratusan juta hingga puluhan miliar untuk membeli alat rapid test (rapid test kit).
Masyarakat pun kena imbasnya karena harus menjalani rapid test jika ingin melakukan perjalanan dan lain sebagainya dengan tarif ratusan ribu rupiah!
Ketika berbicara di program Ngobrol Seru 100 Hari Pandemik Global by IDN Times, Epidemiolog Universitas Indonesia,Dr Pandu Riono mengatakan, penggunaan rapid test antibodi seharusnya dihentikan pemerintah. Sebab, hasilnya tidak akurat.
"Kenapa tidak akurat? Karena itu memeriksa antibodi yang baru muncul seminggu atau 10 hari setelah terinfeksi," ungkap Pandu pada (20/6/2020) lalu.
Seharusnya yang dilakukan pemerintah memeriksa, apakah individu tersebut membawa virus atau tidak. Sehingga, langkah isolasi bisa ditempuh.
"Orang yang terinfeksi menimbulkan reaktif mungkin tidak infectious. Maka ia terinfeksi sekarang atau dua minggu lalu, sama saja," katanya lagi.
Bahkan, menurut Pandu, pembelian rapid test dalam jumlah besar yang dilakukan pemerintah di awal kemunculan pandemik bisa menimbulkan skandal. Sebab, selain menggelontorkan dana besar, akhirnya rapid test kit itu ikut ditawarkan ke pemerintah daerah.
Pemda, kata Pandu, merasa tidak memiliki pilihan. Daripada menunggu hasil tes PCR, lebih baik menggunakan rapid test.
Menyikapi besarnya biaya rapid test, pemerintah daerah pun akhirnya melakukan berbagai strategi penghematan. Seperti membuat rapid test sendiri, mendirikan lab PCR sendiri, hingga menghentikan impor rapid test kit.
Yuk simak berikut sejumlah polemik yang muncul dan solusi dari pemerintah daerah yang dirangkum IDN Times dari beberapa kabupaten kota: