Nindy merupakan satu contoh dari banyak kasus serupa yang dialami oleh perempuan di Indonesia. Data yang dirilis Komnas Perempuan pada 2018, terdapat 348.466 kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan. Angka itu meningkat pada 2019 hingga mencapai 406.178 kasus.
Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Maria Ulfah Anshor menyadari kaum perempuan akan tetap rentan terhadap tindak kekerasan lantaran RUU PKS masih belum disahkan. Padahal, mereka sudah konsisten melakukan advokasi kepada berbagai fraksi partai politik di DPR.
"Kami sudah audiensi dengan pimpinan PPP, Partai Gerindra hingga Ketua Umum Partai Demokrat, Pak AHY terkait RUU PKS. Harapannya karena sudah diputuskan oleh Baleg menjadi program prioritas Baleg pada 2021, maka bisa segera disahkan di rapat paripurna dan ditindaklanjuti di sidang di masa mendatang," ujar Maria yang dihubungi oleh IDN Times pada Selasa (16/2/2021).
Ia tak menampik ada pandangan yang menilai UU yang sudah ada seperti UU KDRT dan UU Perkawinan bisa dijadikan acuan penyelesaian tindak kekerasan terhadap perempuan. Tetapi, RUU PKS tetap penting karena tindak kekersan seksual tidak diatur di dalam aturan yang sudah ada.
"Misalnya, ketika bicara soal perkosaan, di dalam KUHP tentang perkosaan, tetapi bentuk perkosaannya itu masih alat kelamin perempuan yang dimasukkan alat kelamin laki-laki. Padahal, dalam kekerasan seksual tidak hanya terjadi vaginal atau oral tapi bentuk kekerasan makin beragam bahkan dengan benda-benda yang dimasukan ke alat kelamin perempuan," ungkapnya.
Sementara, UU KDRT hanya mengatur pidana tindak kekerasan di dalam lingkungan rumah tangga. Bila tindak kekerasan seksual terjadi di tempat publik, fasilitas pendidikan, atau kantor, belum diatur di dalam UU yang sudah ada.