Menurut Kapolres Surakarta yang bertugas saat itu, Brigjen Polisi (Purn) Imam Suwangsa, polisi benar-benar kewalahan mengatasi aksi massa yang anarkis. Intelijen polisi sudah memprediksi akan ada unjuk rasa besar di Solo, tetapi mereka gagal memperhitungkan dampak kerusuhan.
Polres hanya punya 400 anggota yang tersebar di lima kecamatan, sehingga kalah jumlah dan tak kuasa mencegah massa yang terlibat dalam kerusuhan. Imam hanya berusaha melokalisasi agar kerusuhan tidak menyebar ke kabupaten sekitar dengan mengontak setiap kapolres untuk melakukan penyekatan ke perbatasan.
“Jumlah massa jauh lebih banyak. Akhirnya saya hanya bisa menyaksikan perilaku masyarakat yang brutal. Bantuan dari Polda dan tentara datang hari kedua, situasi bisa dikendalikan, tetapi kota sudah terlanjur porak poranda,” tutur Imam yang juga menghadiri pameran foto itu.
Imam mengaku trauma melihat pembakaran dan penjarahan di depan matanya. Ia secara pribadi telah meminta maaf kepada masyarakat Solo karena tak bisa mengamankan demonstrasi yang, menurutnya, ditunggangi oleh kelompok yang hingga kini belum teridentifikasi.
“Itu pengalaman paling buruk sepanjang saya bertugas. Saya benar-benar trauma. Setelah itu, saya minta dipindah dari Solo, dan ditempatkan di Jawa Timur,” lanjutnya.
Salah satu korban yang selamat, Sumartono Hadinoto, menuturkan bahwa ia bersama sejumlah relawan Tionghoa saat krisis moneter 1998 ikut membantu masyarakat dengan membuat posko sembako bersubsidi selama beberapa bulan. Namun, saat kerusuhan, rumah tempat tinggalnya yang juga merupakan pabrik aluminium dan kaca tetap menjadi sasaran penjarahan dan perusakan.
“Saya mendapat kabar, hari itu keadaan semakin memanas, massa bergerak ke timur, saya disarankan tetap di rumah. Tak lama kemudian, massa sudah berkumpul di jalan depan rumah, keadaan makin rusuh, mereka melempari, memaksa masuk rumah,” kenang pria yang biasa disapa Martono itu.
Ia dan keluarga berhasil menyelamatkan diri dengan membobol dinding belakang rumahnya. Namun, peristiwa itu menimbulkan trauma berkepanjangan sampai anak perempuannya mengajaknya pindah domisili. Martono juga sempat trauma dan memasang hidran di rumahnya dengan cadangan air ribuan meter kubik sebagai antisipasi kerusuhan dan kebakaran.
“Itu belum seberapa, ada korban yang sampai sekarang tidur dengan golok, karena masih ketakutan,” ujar pria yang mendapat anugerah Global Business and Interfaith Peace Award 2018 oleh Religious Freedom & Business Foundation (RFBF) dan United Nations Alliance of Civilizations, Maret lalu, atas peran sosialnya dalam membangun dialog antar kelompok agama, etnis, dan golongan.
Bukan hanya warga Tionghoa, kerusuhan Mei telah menelan korban masyarakat pribumi. Salah satunya adalah keluarga Sukarno, warga Pasar Kliwon, yang kehilangan anak laki-laki satu-satunya, Joko Purwanto. Remaja kelas 2 SMA yang dikenal baik dan tak pernah terlibat kenakalan itu menghilang usai pulang sekolah.
“Saya sebenarnya melarang ia keluar rumah karena mendengar berita demo dan kerusuhan. Pamitnya pergi sebentar, dijemput temannya yang memakai helm balap, saya nggak bisa mengenalinya. Sampai sekarang tak tahu keberadaannya,” ujar Sukarno.
Ia sudah mencarinya ke kantor polisi, ke tempat-tempat penemuan jenazah di bekas kerusuhan, dan rumah sakit, tetapi hasilnya nihil. Hingga sekarang, Sukarno hanya bisa meyakini bahwa anaknya berada di kuburan massal tanpa nama di TPU Purwoloyo bersama puluhan lainnya.