Presiden Joko "Jokowi" Widodo (Dok. Biro Pers Kepresidenan)
Dalam UU Minerba yang diubah, pada Pasal 128 dan 129 disisipkan Pasal 128A yang memberi perlakuan tertentu bagi pelaku usaha yang meningkatkan nilai tambah. Dengan pengenaan royalti 0 persen yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP). Dengan kata lain, perusahaan batu bara yang membangun smelter, misalnya, tidak perlu membayar royalti kepada negara.
Seperti dilansir mongabay.co.id, 16 October 2020, Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam #BersihkanIndonesia menilai, sisipan pasal tersebut dianggap sebagai 'kado' presiden dan DPR untuk pengusaha tambang.
“Ini mengonfirmasi, regulasi kontroversial itu diduga kuat pesanan dari oligarksi, pengusaha tambang terutama batu bara,” kata Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah.
Merah mengatakan saat negara mengalami resesi ekonomi, rakyat kehilangan pekerjaan dan meninggal karena pandemik yang tak kunjung usai, presiden dan DPR justru memilih memberi talangan (bailout) dengan menyelamatkan pebisnis tambang batu bara.
“Semua ini terjadi karena legislasi UU Cipta Kerja ini sudah tersandera dalam konflik kepentingan, para oligarki politik dan bisnis dalam parlemen sudah bercampur baur,” kata dia.
Merah menyebut, sekitar 50 persen isi anggota DPR dan pimpinan juga terhubung dengan bisnis batu bara. Bahkan, Satgas Omnibus Law yang ikut menyusun pun berisi para komisaris dan direktur perusahaan batu bara yang akan menerima manfaat dari kebijakan UU Cipta Kerja ini.
Sementara, peneliti Auriga Indonesia Iqbal Damanik mengatakan, pemberian royalti 0 persen sama dengan memberikan batu bara cuma-cuma kepada pengusaha batu bara, dan mengkhianati amanat UU 45 bahwa sumber daya alam digunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Iqbal memperkirakan insentif dari pemerintah ini akan mendorong laju eksploitasi besar-besaran, yang beriringan dengan makin hancurnya ruang hidup dan lingkungan yang tak layak huni.
“Situasi ini bertentangan dengan niat Pemerintah Indonesia yang membatasi produksi batubara yang dituangkan dalam RPJMN [rencana pembangunan jangka menengah nasional],” kata dia.
Sejak tahun lalu sebelum pandemik, kata Iqbal, sejumlah perusahaan batu bara besar sudah mengalami kesulitan keuangan dengan utang jatuh tempo pada 2020-2022. Moody’s Investor Services mencatat, total utang perusahaan mencapai sekitar Rp4,2 triliun, akan jatuh tempo pada 2022.
Utang tersebut berbentuk kredit perbankan atau obligasi. Melalui UU Cipta Kerja yang dinilai 'menunggangi' pandemik, kewajiban perusahaan menyetor royalti dapat diskon hingga 100 persen.
Artinya, menurut Iqbal, ini akan menyebabkan negara kehilangan potensi pemasukan hingga 1,1 miliar dolar AS dan 1,2 miliar dolar AS dari pajak yang ditarik pada 2019 dari 11 perusahaan batu bara.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan Kisworo Dwi Cahyono mengatakan, eksploitasi di daerah memicu perluasan kerusakan, pencemaran lingkungan seperti lubang tambang dan pengusiran masyarakat dari tanah mereka.
Bahkan, kata Kisworo, dalam Pasal 47 dan 48 UU Minerba bagian pemanfaatan ruang laut juga disebutkan, perizinan berusaha pemanfaatan di laut untuk kegiatan biofarmakologi laut hingga kegiatan usaha pertambangan migas mineral dan batubara.
“Biaya pemulihan lenyap dan dana tidak ada karena perusahaan tambang yang diberi diskon royalti, negara dan lingkungan buntung,” kata Kisworo.
Sementara, dalam Pasal 39 UU Nomor 11 Tahun 2020, tentang Cipta Kerja disebutkan, di antara Pasal 128 dan 129 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal I28A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal l28A
(1) Pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal lO2 ayat (2), dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128.
(2) Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batu
bara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlakuan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.