Jakarta, IDN Times - Dua puluh tahun lalu, awal Mei, ribuan mahasiswa menyuarakan protes yang dipicu oleh keputusan rezim Presiden Seharto menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Senin, 4 Mei 1998, Presiden Soeharto mengikuti saran Dana Moneter Internasional (IMF) untuk memangkas subsidi energi. Pilihan yang diambil saat itu adalah dengan menaikkan harga BBM dari Rp 700 per liter menjadi Rp 1.200 per liter. Kebijakan tersebut menyulut aksi penolakan mahasiswa di sejumlah wilayah.
Menteri Pertambangan dan Energi saat itu, Kuntoro Mangkusubroto, baru dua bulan menjabat. Setelah dipanggil mendadak ke Bina Graha, menghadap Presiden Soeharto, Senin pagi (4 Mei 1998), dia diperintahkan mengumumkan kenaikan harga BBM dan Tarif Dasar Listrik siang itu juga.
Pengumuman dikemas dalam bentuk terbitnya Keputusan Presiden Nomor 69 dan Nomor 70 Tahun 1998. Untuk pertama kalinya pengumuman kenaikan BBM dilakukan siang hari, dan dibuat tanpa pembahasan dengan DPR/MPR. Meskipun, sejak era kekuasaan Soeharto, DPR/MPR dipandang sekadar 'tukang stempel' perintah eksekutif.
Soeharto memaksa kenaikan BBM dan tarif listrik untuk memenuhi perintah IMF. Saat itu, Indonesia menerima suntikan dana segar IMF senilai US $ 43 miliar, untuk mengatasi krisis. Pada 4 Mei 1998 waktu Washington, Dewan Direksi IMF dijadwalkan memulai pembahasan masalah tahapan pencairan dana bantuan, yaitu pencairan sejumlah US $ 3 miliar kepada Indonesia, dan akan diikuti pencairan US $ 1 miliar setiap bulannya.
Syarat pencairan tahapan adalah Pemerintah harus kurangi beban subsidi energi dan menerapkan reformasi. Kenaikan BBM dan tarif listrik memicu demo di berbagai lokasi. Ada korban jiwa.
