Pro-Kontra Larangan Napi Koruptor 'Nyaleg'

JAKARTA, Indonesia —Meskipun ditentang mayoritas partai politik di Senayan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersikeras untuk menyusun aturan melarang mantan narapidana kasus korupsi atau koruptor maju menjadi anggota legislatif pada Pemilu 2019. Bahkan, Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengatakan, KPU telah menyusun substansi aturan untuk itu. Jika tidak ada aral melintang, peraturan KPU (PKPU) melarang mantan napi koruptor 'nyaleg' diterbitkan dalam waktu dekat.
Langkah KPU tersebut juga disambut positif oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang concern terhadap pemilu dan korupsi. Di dunia maya, warganet ramai-ramai menunjukkan dukungan dengan menandatangani petisi di situs change.org. Kendati demikian, sejumlah pakar tata negara mempertanyakan kewenangan KPU melarang napi koruptor mempergunakan hak mereka untuk dipilih sebagai wakil rakyat.
Alasan KPU
Maraknya kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi dan menjadi tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi salah satu alasan KPU mengeluarkan terobosan melarang napi kasus korupsi nyaleg. Komisioner KPU Wahyu Setiawan menegaskan, KPU menggunakan payung hukum Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dalam menerbitkan PKPU.
Dalam UU Pemilu, eks terpidana korupsi memang tidak dilarang maju sebagai caleg. Namun, menurut Wahyu, terpidana kasus korupsi bisa dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime sebagaimana kejahatan narkotika dan kejahatan seksual terhadap anak.
“Kita memahami bahwa dalam UU (Pemilu) yang dimaksud kejahatan luar biasa itu adalah kejahatan seksual terhadap anak dan narkoba. Tetapi kita memandang pula bahwa korupsi itu adalah kejahatan yang daya rusaknya luar biasa. Sehingga KPU memperluas tafsir. Yang semula hanya dua poin, kita perluas dengan satu norma lagi, yaitu korupsi," ujar Wahyu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/4) lalu.