Anak keempat dari lima bersaudara pasangan Ir. Enus Yunus, pegawai Binamarga Pusat, dan Ir. Sunarmi, pegawai Puslitbang Pengairan, Jawa Barat, yang lahir di Bandung, 28 September 1976 ini menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja di Bandung.
Setelah menamatkan SMU di Bandung pada 1966, Royan melanjutkan pendidikannya ke Trisakti. Di Jakarta, Royan ikut ayahnya dan tinggal di perumahan Cipayung, Jakarta Timur. Bila tak ada kesibukan di kampus, hampir setiap akhir pekan Royan pulang ke Bandung.
Royan adalah satu-satunya anak lelaki yang dipunyai pasangan Enus Yunus dan Sunarmi. Meski berpenampilan kalem, Royan suka bercanda, terutama pada kakak dan adiknya. Menurut penuturan seorang kakaknya, Husnun, Royan tak jarang menggoda saudara-saudaranya itu. Kalau candaannya itu membuat kesal sang kakak atau adik, Royan selalu mengatakan, “Ah, begitu saja kok marah!”
Di mata orangtuanya, Royan adalah anak baik, tak pernah macam-macam. “Dia itu anak saleh dan giat belajar,” kata Sunarmi, sang ibu. Pengakuan sang ibu tak berlebihan. Di kampusnya, almarhum dikenal sebagai seorang ustaz. “Soalnya, ia sangat rajin mengajak teman-temannya salat tepat waktu,” begitu kata salah seorang temannya.
Sebagai aktivis, Royan tak pernah berada di garis depan, dan tak pula mengeluarkan umpatan. Ia berhati-hati, dan sopan. “Dia hanya ikut-ikutan saja, sebagai solidaritas,” kata seorang temannya yang enggan disebut jati dirinya. Ia hanya berdiri, dan sesekali ikut memberi semangat berupa tepukan.
Di hari Selasa sore 12 Mei 1998 ketika salah seorang temannya, Agung, mau mengambil posisi di depan dalam berunjuk rasa, almarhum sempat mengingatkannya. “Jangan jauh-jauh, nanti kena,” tutur Agung menirukan saran almarhum.
Saat itulah keduanya pisah, karena Agung tetap berada di barisan terdepan. Maka, ketika kepala Royan tertembus peluru, Agung pun tak tahu. Di akhir minggu, Royan sempat ditanya ibundanya, kapan akan pulang ke Bandung? “Mungkin hari Rabu,” jawabnya.
Ternyata benar. Di hari Rabu itu Royan datang ke Bandung, untuk dimakamkan di TPU Pasir Layung, yang berjarak 200 meter dari rumah duka di Gang Sirnagalih, Padasuka, Bandung.