Hingga menjelang siang, warung kopi malah bertambah ramai. Suasana pun sangat riuh dengan pelbagai perbincangan di antara sesama pengunjung.
Warung kopi, menurut Reza Fahlevi, sebagai tempat mencari dan menemukan informasi bagi warga Aceh. "Andai sehari saja tidak ke warung kopi, kita pasti tidak bakal tahu isu yang tengah panas dibicarakan saat ini," kata Reza.
Di luar kota Banda Aceh, lanjut Reza, yang belum ramai pengguna handphone dan belum ada internet gratis di warung kopi, surat kabar harian atau koran adalah satu-satunya sumber informasi. Dan koran hanya ada di warung kopi.
"Jadi orang-orang akan ke warung kopi, walaupun hanya untuk membaca koran," tutur pria asal Kabupaten Pidie, berjarak 120 kilometer dari Banda Aceh. "Jadi ada isitilah saat orang ke warung. 'Di mana kepala koran?' Itu artinya merujuk kepada halaman pertama dari koran atau headline," tutur Reza.
Reza sudah beberapa tahun belakangan tinggal di kota Banda Aceh. Dulu, dia mengaku seperti wajib datang ke warung kopi untuk membaca berita olahraga di koran. "Di kampung kan tidak ada wifi seperti sekarang ini di kota," tutur pria berhobi sepakbola itu.
Kini kebiasaan itu juga terbawa dari kampung halaman. Namun Reza mengaku kini ke warung kopi bukan lagi untuk membaca koran. "Untuk silaturahmi lah di warung kopi. Dan sekarang pun, kalau sehari saja tidak minum kopi, rasanya seperti ada yang kurang," tutur Reza.
Sebagai daerah yang menerapkan peraturan syariat, Islam di Aceh sangat kental. Sehingga di warung kopi, musala untuk ibadah salat dengan mudah ditemui. Hampir semua warung kopi yang buka 24 jam menyediakan mushalla di bagian belakang atau lantai dua warung.
Tidak hanya itu, saat memasuki waktu salat, warung kopi ditutup sementara. Pemandangan ini bisa dilihat saat azan salat Jumat dikumandangkan.
Pada Jumat, 2 Maret, Mukhtaruddin, Reza Fahlevi, dan satu lagi temannya bergegas pulang sekitar satu jam menjelang pelaksanaan salat Jumat. Pemilik warung segera menutup pintu depan warungnya.
"Jadi kalau sudah ditutup, orang bakal langsung pulang atau ke masjid untuk melaksanakan salat. Mereka sudah pada mengerti," kata Mukhtaruddin sambil bangkit dari duduk dan kemudian pulang.
Warung dibuka kembali setelah selesai salat. Pemilik warung dan warga, menaati betul pelaksanaan syariat Islam yang memang sudah menjadi adat orang Aceh.
Warga Aceh, memanfaatkan warung kopi sebagai tempat diskusi tentang semua hal. Muhammad Rizal, misalnya. Rappler bertemu dengannya di sebuah warung kopi di Batoh, Banda Aceh. Mahasiswa semester empat di sebuah universitas negeri itu hampir setiap hari nongkrong di warung kopi. Meskipun dirinya tidak terlalu suka minum kopi.
Bagi pemuda berusia 20 tahun itu, nongkrong di warung kopi membuatnya lebih rileks dan santai. Bahkan, dia sering menyelesaikan tugas kampus bersama temannya di meja kopi. "Mengerjakan tugas di warung kopi lebih santai, dan tentunya membuat kita lebih mudah menyelesaikannya," kata Muhammad Rizal.
Hal yang membuat dirinya selalu ingin ke warung kopi, karena menurutnya hanya di sana dia bisa duduk berlama-lama sambil bercanda. "Walaupun ada kawan yang ingin bicara hal yang penting, ajak jumpanya tetap di warung kopi, meskipun nanti pesannya teh, tidak pesan kopi," tutur Muhammad sambil tersenyum.
Bahkan, kata Muhammad, ada isitilah khusus di antara warga Aceh. "Saat ada hal penting yang ingin dibicarakan, ataupun kita ingin berjumpa seseorang, kita tidak langsung bilang maksud ingin membahas sesuatu yang penting. Melainkan dengan menanyakan, 'pat tajep kupi?'," kata dia.
"Pat tajep kupi?" jika diartikan ke bahasa Indonesia berarti "Di mana kita minum kopi?". "Sampai di warung kopi nanti baru dibahas semua permasalahannya. Meskipun itu penting sekali," jelas Muhammad Rizal.