Kusnani merebus Keong Sawah di wajan jumbo di rumahnya jalan Kauman Lama Purwokerto Timur Banyumas. Proses perebusan memakan waktu 5 jam. Foto oleh Irma Muflikah/Rappler
Hari masih pagi, waktu buka puasa masih panjang, namun dapur milik Khamlani di rumahnya Jalan Kauman Lama Purwokerto Timur sudah sibuk dengan kegiatan memasak. Aroma keong yang hampir masak semerbak di ruang belakang.
Tiga perempuan berbagi tugas untuk memasak Keong Sawah di dapur itu hingga siap dihidangkan. Khamlani, satu-satunya pria di dapur itu bertugas melubangi ujung cangkang keong untuk mematikan hewan tersebut sekaligus menghilangkan kotorannya.
Giliran sang istri, Kusnani menanak keong itu pada wajan berdiameter 1 meter. Wajan jumbo itu mampu menampung 20 an kilogram keong sekali masak. Di lapak rumah depan, pelanggan sudah mengantre untuk memesan olahan keong yang disajikan hangat.
Memasak keong ternyata bukan pekerjaan sederhana. Keong mentah yang baru didapat dari pengepul tidak bisa langsung dimasak. Setelah dilubangi ujung cangkangnya, keong harus direndam dulu semalaman untuk menghilangkan lendir atau racun yang mungkin tersisip di tubuh keong.
Terlebih habitat keong adalah sawah yang sudah banyak terkontaminasi racun pestisida. Setelah direndam, keong lalu dicuci bersih sebelum dimasak di atas tungku. Khamlani mengklaim keunggulan olahan keongnya terletak pada bumbunya yang meresap kuat pada daging keong.
Pantas saja, hampir seluruh bumbu dapur, mulai dari bawang, kemiri, laos, jahe, kunir, salam hingga cabai dipakai untuk melezatkan makanan tersebut. "Persis bumbu rica-rica lah, banyak rempah-rempahnya, cuma enggak pakai lada dan merica," katanya.
Proses merebus keong ternyata juga butuh waktu lama. Kusnani mulai memasak keong sehabis subuh, pukul 05:00 WIB, hingga keong benar-benar matang pukul 10:00 WIB, atau sekitar lima jam. Proses yang lama itu dibutuhkan untuk memastikan daging benar-benar lunak, serta bumbu merasuk ke daging dan kuah.
Khamlani mulai merintis usaha itu tahun 1995, saat penjual keong belum seramai sekarang. Kala itu, ia hanya membuka lapak setiap kali Ramadan datang dan menutupnya saat musik mudik berakhir.
Permintaan keong nyatanya terus meningkat seiring dengan gencarnya pemberitaan media massa terhadap kuliner khas tersebut. Hingga ia memutuskan untuk membuka warungnya setiap hari. Meski di hari-hari biasa permintaan keong tak begitu tinggi. Ia hanya mampu menjual 20-an kilogram keong saat hari normal.
Namun permintaan melonjak tajam, hingga 500% pada bulan Ramadan dan 10 hari pertama bulan Syawal. Pada momentum itu, setiap hari tak kurang dari 1 kuintal keong ludes diserbu pelanggan. "Jam 3 sore biasanya sudah habis, tinggal yang pesanan-pesanan," katanya.
Khamlani menjual keong sawah seharga Rp 40 ribu per kilogram. Pelanggan bisa juga memesan perporsi seharga Rp 15 ribu.
Sama halnya pedagang lain, kendala Khamlani dalam menjalankan bisnis ini adalah keterbatasan bahan baku. Tidak semua jenis keong yang ada di sawah bagus untuk dimasak. Untuk mendapatkan bahan baku itu, ia masih mengandalkan suplai dari luar daerah, yang masih melimpah untuk jenis keong sawah itu.