Oleh Ari Susanto
Tahun ini, Rappler Indonesia memulai travel project yang akan menyuguhkan rekomendasi tepat wisata yang tak biasa dan belum banyak dikenal khalayak ramai di seluruh penjuru Nusantara. Kami akan menyuguhkan satu lokasi berbeda setiap bulannya
BOYOLALI, Indonesia —Gunung Merapi yang terletak di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta tak hanya mengeluarkan awan piroklastik ‘wedhus gembel’ yang mematikan saat erupsi, tetapi juga memberi penghidupan bagi penduduk di sekelilingnya.
Setiap tahun, jutaan meter kubik pasir ditambang penduduk di lereng selatan dan barat yang merupakan jalur aliran lahar dan material vulkanik. Sementara, abu gunung api yang kerap mengguyur lereng timur dan utara menjadikan daerah tersebut lahan pertanian subur yang menghasilkan sayuran organik, tembakau, dan kopi arabika kualitas premium.
Merapi juga menyimpan pesona wisata seperti kawasan Kaliurang (Sleman), Deles (Klaten), Ketep (Magelang) dan Selo (Boyolali). Jika Kaliurang lebih populer dengan wisata erupsi dan sejarah, maka Selo punya panorama dataran tinggi yang memanjakan mata karena terletak persis di antara gunung Merapi dan Merbabu.
Selain jalur pendakian ke dua gunung, terdapat sejumlah lokasi wisata yang banyak diburu generasi milenial, dari gardu pandang, rumah bambu, hingga air terjun. Baru-baru ini, ada satu lagi wisata kekinian yang belum banyak diketahui orang, yakni Tretes Taman Tani atau Triple T.
Lokasi wisata yang berupa kebun sayur dan bunga seluas lebih dari 3.000 meter persegi ini sebenarnya belum dibuka karena baru selesai dikembangkan sekitar 30%. Meski demikian, tempat ini sudah banyak dikunjungi orang-orang yang ingin berfoto sejak dua bulan lalu.
Masyarakat desa sekitar sangat ramah dan gemar bercerita. Pengunjung bisa belajar tentang budidaya hortikultura serta mendengar kisah tentang pertanian di Selo.
Petani di wilayah itu dikenal dengan keuletannya berkebun sayur di tengah ancaman bencana vulkanik yang bisa datang setiap saat. Dalam dua erupsi besar terakhir tahun 2006 dan 2010, Selo merupakan zona terdampak dan masuk dalam kawasan rawan bencana (KRB) Merapi.
Meskipun bebas dari terjangan awan panas, Selo tak luput dari hujan abu vulkanik yang membuat tanaman rusak dan kering. Semua penduduk dan ternak tetap diwajib mengungsi ke titik-titik evakuasi di bawah.
“Abunya tebal, terkadang campur pasir halus. Kalau menimbun tanaman, daunnya menguning, lalu mati. Enggak ada yang bisa dipanen,” kata Muslih.
Usai erupsi petani tak bisa segera menggarap lahannya karena kandungan abu masih terlalu pekat di permukaan. Untuk siap ditanami kembali, mereka harus menunggu beberapa bulan hingga kondisi tanah menjadi normal kembali setelah tersiram air hujan.
Meski awalnya merusak, abu vulkanik dalam jangka panjang justru membuat tanah lebih subur. Karena itu, rata-rata kebun sayur di Selo sangat produktif sekalipun dibudidayakan tanpa menggunakan pupuk kimia.
Selama masa paceklik pasca erupsi, pendapatan mereka dari ladang nol. Untuk hidup, mereka mengandalkan pada sektor wisata, misalnya menjadi guide atau porter pendakian. Jasa mereka sering dibutuhkan oleh pendaki yang ingin menempuh track terpendek tanpa tersesat, karena umumnya petani di Selo yang terbiasa mencari rumput pakan ternak cukup hapal jalur-jalur alternatif pendakian.
Jasa mereka juga digunakan oleh Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencaan Geologi (BPPTKG) sebagai porter untuk mengangkut peralatan teknis monitoring gunung api yang akan dipasang atau mengganti yang rusak pasca erupsi di sekitar puncak Merapi. Sebagian lainnya menyewakan rumahnya untuk penginapan para pendaki dengan tarif sukarela saat basecamp utama penuh.
