Menurut pemohon, perbedaan perlakuan tersebut terjadi karena keenam hal di atas hanya berlaku bagi penyelenggara penyiaran konvensional dan tidak berlaku bagi penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet.
Sebagai contoh, Pemohon sebelum melakukan aktivitas penyiaran harus memenuhi sejumlah persyaratan misalnya berbadan hukum Indonesia, memperoleh izin siaran, dan seterusnya. Sementara penyelenggara siaran yang menggunakan internet tidak perlu memenuhi berbagai macam persyaratan dimaksud.
“Contoh lain yang tidak kalah penting dalam penyelenggaraan penyiaran, para pemohon wajib tunduk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (selanjutnya disebut “P3SPS”) dalam membuat konten siaran, apabila melanggar maka akan dikenakan sanksi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (selanjutnya disebut “KPI”) sebagai bagian dari tugas pengawasan,” tulis permohonan itu.
Oleh karena itu para pemohon menyadari telah terjadi perlakukan yang berbeda (unequal treatment) dalam menyelenggarakan penyiaran sebagaimana diuraikan di atas, maka ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran a quo telah jelas-jelas melanggar hak konstitusional para pemohon.
.Apabila ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran a quo ditafsirkan mencakup pula penyiaran yang menggunakan internet, maka kerugian tersebut tidak akan terjadi pada para pemohon. Sehingga terbukti keberadaan Pasal a quo memiliki causal verband terhadap kerugian konstitutional yang dialami/diderita oleh para pemohon.
“Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan baik PEMOHON I dalam hal ini INEWS TV maupun PEMOHON II dalam hal ini RCTI telah memenuhi syarat sebagai Pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, sehingga dengan demikian Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan Permohonan pengujian UU a quo,” tulisnya lagi.