Sementara, kejaksaan mengajukan tujuh nama untuk mengisi posisi yang ditinggalkan oleh Heru Winarko. Mereka adalah Feri Wibisono yang pernah menduduki posisi sebagai staf ahli Jaksa Agung di bidang pembinaan pada tahun 2017. Ia juga pernah duduk sebagai Direktur Penuntutan di KPK.
Nama kedua, Fadil Zumhana yang saat ini menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Kalimantan Timur.
Dalam pemberitaan, nama Fadil disebut merupakan jaksa yang lurus dan anti terhadap perbuatan korupsi. Sudah lebih dari setahun ia menduduki posisi tersebut dan sudah banyak pula jaksa nakal yang "disikatnya". Total kerugian negara yang telah diselamatkan mencapai Rp 13 miliar. Terakhir, ia menjatuhkan sanksi berat terhadap tiga jaksa nakal yang ikut bermain dalam dana hibah Aptisi Kaltim.
Nama ketiga yakni Heffinur merupakan Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung. Ia menduduki jabatan tersebut per tahun 2016 lalu.
Nama keempat adalah Wisnu Baroto. Wisnu bukan pendatang baru di lembaga anti rasuah. Ia pernah menjadi JPU di KPK. Beberapa kasus yang pernah ditangani Wisnu ketika bekerja di KPK antara lain kasus korupsi mantan Gubernur Nanggroe Aceh Darusalam, Abdullah Puteh, kasus penyuapan yang dilakukan oleh mantan pengacara Probosutedjo, hingga ke kasus korupsi pembangunan lahan yang menyeret nama Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi (HPH) Departemen Kehutanan, Waskito Suryodiprodjo.
Wisnu juga pernah diajukan oleh kejaksaan untuk mengisi kursi Direktur Penuntutan yang ditinggalkan oleh Feri.
Nama kelima yang diajukan adalah Oktovianus, Inspektur Muda Intel dan Pidana Khusus pada inspektorat V bidang pengawasan Kejaksaan Agung. Oktovianus pernah ikut melakukan pemeriksaan internal bagi rekannya Kasi III Intel Kejati Bengkulu, Parlin Purba, yang terjaring OTT KPK tahun lalu. Parlin kemudian divonis lima tahun penjara oleh majelis hakim.
Nama keenam, adalah Tua Rinkes Silalahi dan nama terakhir Witono. Ia diketahui pernah menduduki posisi sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Malang pada 2009 lalu.
Menurut Febri, nama-nama ini sengaja diungkap ke publik, karena KPK ingin sekaligus menerima masukan dari publik. Lalu, bagaimana caranya publik memberi masukan mereka ke KPK?
"Masukan bisa diberi dengan datang langsung ke KPK, melalui surat atau mekanisme lainnya," kata pria yang pernah menjadi aktivis anti korupsi itu.