Kebanyakan para penonton yang datang ke bioskop alternatif Kineforum mengungkapkan bahwa alasan mereka ingin menonton di bioskop alternatif karena suguhan film yang beragam, mulai dari film lawas, film independen, hingga film yang sudah diturunkan dari layar bioskop karena angka penjualan tak memuaskan.
“Saya tahu Kineforum dari guru, kebetulan saya SMK di bidang broadcasting. Di sini banyak film-film yang neggak masuk XXI, kayak Istirahatlah Kata-kata, di Bengkulu enggak masuk. Bahkan, kami harus bikin pemutaran sendiri di sana,” kata Mutia Sari, seorang pelajar berusia 17 tahun.
Ada pula Alex, seorang konsultan di bidang energi yang tertarik menonton film-filma lawas. “Awalnya istri saya yang ngasih tahu soal Kineforum. Saya tertariknya sama film-film lawas yang diputar dan di TV juga udah agak jarang juga, tuh. Kemarin saya nonton Catatan Si Boy, mulai dari Catatan Si Boy, Catatan Si Boy 1, sama Catatan Harian Si Boy.”
“Temen saya yang ngasih tahu saya ada tempat nonton film yang seru, filmnya unik-unik juga kadang-kadang film yang kita enggak tahu. Kayak sekarang lagi muterin film Warkop, nih. Saya dari dulu memang suka film Warkop, apalagi nonton film Warkopnya di layar gede gitu,” ungkap Adrian, seorang analis saham.
“Karena deket dengan kampus, saya jadi tahu Kineforum. Sejak pertama kali kuliah sering ke sini buat nonton film-film alternatif sama film-film yang sudah enggak tayang lagi di bioskop. Kineforum, kan, muterin beragam film-film dari berbagai daerah, film pendek, film panjang, film independen, dan film komersil,” kata Rendro, seorang mahasiswa berusia 23 tahun.
Untuk melihat jadwal pemutaran di Kineforum, Anda dapat mengikuti kanal media sosial Kineforum di Facebook dan Instagram.
Wadah untuk film indie
Selain Kineforum, bioskop alternatif maupun komunitas film yang rutin menggelar pemutaran film alternatif juga terdapat di sejumlah wilayah lain.
Misalnya, Kinosaurus dan Subtitles di Jakarta, Cine Space dan Radiant Cinema di Tangerang, CLC Purbalingga di Purbalingga, Kedai Kebun Forum dan Studio Video Audio Visual di Yogyakarta, Duatiga Project di Surabaya, Minikino di Bali dan Rumata Art Space di Makassar.
Selasa, 21 Maret, Rappler berkesempatan mengikuti sebuah acara yang digagas DuaTiga Project. Pemutaran film indie Selasa malam, 21 Maret kemarin diselenggarakan Duatiga Project bekerjasama dengan Mal Marvell City dan dihadiri sekitar 40-an penonton. Duatiga Project yang dimotori Ayu Dwi Astiti menjadi tuan rumah bagi penonton dan pembuat film-film indie bersama dengan Mal Marvell City.
Rencananya, Duatiga Project mengadakan nonton bareng film-film indie secara berkala setiap dua pekan sekali di area Alfresco di Mal Marvell City. Kerjasama dengan Mal Marvell City sebenarnya sudah berlangsung sejak awal tahun ini dan akan dievaluasi kembali pada Mei mendatang.
“Kerjasama dengan perusahaan, sebenarnya saya juga ingin mengedukasi bahwa Surabaya punya komunitas-komunitas pembuat film indie,” ujar Ayu.
Area terbuka di Alfresco setiap Selasa malam dua pekan sekali akan menjadi bioskop alternatif untuk film film indie buatan arek-arek Suroboyo. Pengunjung bebas datang tanpa harus membayar. Penyelenggara menyediakan sekitar 50 kursi di depan layar. Kalau pun kursi masih kurang, penonton masih bisa duduk di kursi-kursi panjang depan tenant penjual makanan.
"Setiap pemutaran film indie setidaknya ada 50-an pengunjung yang datang," kata Ayu sesaat sebelum pemutaran film.
Ayu bercerita, ide untuk membuat bioskop alternatif seperti sekarang, berawal saat dirinya mendirikan production house Duatiga Project pada 2012 lalu. Nama Duatiga Project juga diambil dari tanggal saat Ayu pra produksi film indienya yang pertama, yatu pada 23 September. Saat itu Ayu akan memproduksi film indie yang berjudul Untold.
Rampung garap film indie Untold, Ayu kemudian berpikir ke mana film garapannya ini bisa dipertontonkan. Idealisme para pembuat fim indie biasanya selain karyanya bisa mendapat tempat di hati publik, juga bisa berlaga di festival film internasional atau kompetisi lainnya. Itu juga yang diinginkan oleh Ayu.
"Tapi nunggu moment itu kan lama. Daripada dibuat-buat sendiri dan ditonton-tonton sendiri, kenapa tak buat eksibisi saja", kata mahasiswi jurusan manajemen Universitas Airlangga, Surabaya ini.
Ayu kemudian mempunyai ide membuat eksibisi pemutaran film-film indie. Ia kemudian menyelenggarakan Pesta Phoria pada 2014 lalu, bekerjasama dengan Wisma Jerman. Selain memutar film indie karyanya, dia juga mengundang komunitas film indie yang ada di Surabaya dan kota-kota lain seperti Yogyakarta, Bandung, Jakarta dan Tangerang.
Kegiatan itu ia anggap sukses, karena selain pesertanya banyak, penontonnya pun beragam. Sukses dengan Pesta Phoria, Ayu kemudian berpikir, kenapa tidak melanjutkan saja kegiatan semacam Pesta Phoria ini secara berkelanjutan. Dia pun kemudian meyakinkan diri untuk menjadikan rumah produksi Duatiga Project miliknya, bukan hanya sebagai rumah produksi film, tapi juga penyelenggara untuk eksebisi film-film indie.
Dari sana kemudian Ayu berhasil merangkul komunitas-komunitas film indie di Surabaya yang jumlah puluhan. Selain adakan diskusi soal film indie, Duatiga Project juga rajin selenggarakan nonton bareng film indie buatan arek-arek Suroboyo.
Duatiga Project juga berhasil melobi melobi Mal Marvell City menyediakan tempat gratis untuk pemutaran fim indie. Tak hanya tempat, Ayu pun bisa membujuk manajemen Mal Marvell City untuk memberikan reward untuk si pembuat yang filmnya diputar.
"Reward-nya bisa berupa uang atau voucher belanja saja. Nilainya tak seberapa sih. Tapi minimal ada penghargaan, biar mereka semangat," kata pegiat Unit Kegiatan Mahasiswa Sinematografi Unair ini.
Berbekal woro-woro (pengumuman) media sosial, Ayu mengumumkan komunitas mana yang ingin film indienya diputar bisa menghubunginya. Dalam sebulan dia sudah membuat jadwal mana saja film indie yang akan diputar. -Rappler.com
Artikel ini pertama kali diterbitkan di Rappler.com pada tanggal 16 Maret 2017