Ilustrasi buruh di salah satu perusahaan di PPU (IDN Times/Ervan Masbanjar)
Ada tujuh hal yang ditolak buruh Indonesia dalam RUU Ciptaker, yang telah disepakati pemerintah bersama DPR.
Pertama, terkait penghapusan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) bersyarat dan Upah Sektoral (UMSK). Buruh menolak keras kesepakatan ini.
Menurut Said Iqbal, UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada. Karena UMK tiap kabupaten/kota berbeda nilainya. Jadi tidak benar kalau UMK di Indonesia lebih mahal dari negara ASEAN lainnya. Karena kalau diambil rata-rata, nilai UMK secara nasional, justru UMK di Indonesia jauh lebih kecil dari upah minimum di Vietnam.
“Tidak adil jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai UMK-nya sama dengan perusahaan baju atau perusahaan kerupuk. Karena itulah di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDB negara,” lanjutnya.
Karena itu, UMSK menurut Said Iqbal harus tetap ada. Tetapi jalan tengahnya, penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK dilakukan di tingkat nasional, untuk beberapa daerah dan jenis industri tertentu saja. Jadi, UMSK tidak lagi diputuskan di tingkat daerah dan tidak semua industri mendapatkan UMSK, agar ada fairness.
Sedangkan perundingan nilai UMSK dilakukan oleh asosiasi jenis industri dengan serikat pekerja sektoral industri di tingkat nasional. Di mana keputusan penetapan tersebut hanya berlaku di beberapa daerah saja dan jenis sektor industri tertentu saja, sesuai kemampuan sektor industri tersebut.
“Jadi tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK,” ujar Said Iqbal.