Ilustrasi (IDN Times/Aditya Pratama)
Berdasarkan sejarah Islam, salawat Asyghil diciptakan Imam Ja’far Ash-Shadiq yang merupakan keturunan kelima dari Nabi Muhammad SAW menurut Rektor Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum Peterongan.
Berada pada masa ilmu pengobatan, geografi, astronomi, kimia, dan sastra mulai berkembang dan diminati, salawat Asyghil mulai diketahui pada saat kaum muslimin mengalami situasi darurat politik.
Imam Ja’far Ash-Shadiq pun berpandangan bahwa kekacauaan politik jangan sampai mengganggu proses perkembangan ilmu pengetahuan dan pelestarian.
Sementara, Jurnal Studi Hadis Nusantara halaman 134-148 menjelaskan, Imam Ja’far Ash-Shadiq membaca salawat Asyghil secara rutin dengan jamaahnya saat berdoa qunut subuh.
Imam Ja’far Ash-Shadiq menciptakan salawat Asyghil saat berdoa untuk orang-orang yang menzalimi dan mempersekusinya, yakni Bani Umyyah yang dipimpin Yazid bin Muawiyyah.
Selain itu, wali besar Habib Ahmad bin Umar bin Ahmad bin Aqil bin Muhammad bin Abdullah bin Umar Al-Hinduan al-Baalawi, di Hadramaut, Masyayikh Yaman, juga selalu membaca salawat Asyghil.
Terkenal dengan nama Habib Ahman bin Umar Al-Hinduan, ia tumbuh dewasa di Tarim Yaman, dan sering ke India untuk berdakwah. Pada 1122 Hijriyah, ia wafat dan dimakamkan di tempat ia tumbuh besar.
Ia sempat menulis kitab Al-Kawakibul Mudhiah fi Ash-Shalati Ala Khairil Bariyyah atau dalam bahasa Indonesia bermakna “Gemintang Gemerlap dalam Bersalawat kepada Sebaik-baiknya Kebaikan Rasulullah”. Penulisan tentang salawat Asyghil dapat ditemukan di kitab tersebut.
Di Nusantara, salawat Asyghil dipopulerkan oleh ulama-ulama moderat.