Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi Satpam (IDN Times/Ayu Afria)
Ilustrasi Satpam (IDN Times/Ayu Afria)

Intinya sih...

  • Syamsul mengungkapkan dugaan komersialisasi pendidikan satpam yang dijalani, serta biaya pelatihan yang tidak seimbang dengan penghasilan sebagai satpam.

  • Dalam petitumnya, pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa tertentu dalam UU Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Syamsul Jahidin yang berprofesi sebagai petugas satuan pengamanan (satpam) mengajukan permohonan uji materiil Pasal 3 Ayat 1 huruf c dan penjelasan pasalnya dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pemohon menilai frasa “dan badan usaha di bidang jasa pengamanan” dalam pasal penjelasan tersebut menimbulkan komersialisasi yang terjadi dalam pengelolaan pengamanan swakarsa dan tidak mengenal batasan dalam pengelolaannya.

“Ketentuan norma pasal a quo jelas telah digunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan para pejabat Polri untuk menjadi pengusaha aktif terorganisir,” ujar Syamsul dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 195/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu (29/10/2025).

1. Bunyi pasal yang digugat

Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat. (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Pasal 3 Ayat 1 huruf c UU Polri berbunyi, “Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh: a. kepolisian khusus; b. penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.”

Kemudian, penjelasan Pasal 3 Ayat 1 huruf c UU Polri berbunyi, “Yang dimaksud dengan "bentuk-bentuk pengamanan swakarsa" adalah suatu bentuk pengamanan yang diadakan atas kemauan, kesadaran, dan kepentingan masyarakat sendiri yang kemudian memperoleh pengukuhan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, seperti satuan pengamanan lingkungan dan badan usaha di bidang jasa pengamanan.”

2. Pemohon ungkap berbagai pendidikan satpam yang diduga dikomersilkan

ilustrasi satpam (bspguard.co.id)

Dia mengatakan, petugas satpam berhak mendapatkan kepastian dan terhindar dari kapitalisme komersialisasi dalam menjalani profesinya untuk kepastian mendapatkan penghidupan yang layak. Pemohon yang juga berprofesi sebagai advokat mengaku memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan prinsip-prinsip hukum dijalankan.

Selain itu, pemohon mengaku harus mengikuti pendidikan Gada Pratama atau pelatihan berbayar dengan biaya Rp4 juta sebelum menjalani profesi satpam. Adapun ketika pemohon ingin naik status menjadi chief, komandan regu (danru) atau manajer, maka dia harus menjalani pendidikan kualifikasi Gada Utama dengan biaya Rp13,5 juta. Biaya-biaya tersebut, kata dia, tidak sejalan dengan imunitas kewenangan dan penghasilan sebagai satpam sehingga menciptakan ketidakseimbangan dalam proses kepastian hukum.

Dia mengatakan, telah mendaftarkan diri ke Badan Usaha Jasa Pengamanan (BUJP) Pelatihan, sedangkan yang menyelenggarakan sebagai fasilitator serta ijazah satpam dan kartu tanda anggota (KTA) dikeluarkan Polri.

"Dengan adanya pelatihan tersebut, berpotensi dianulir para pejabat Polri karena berada dalam lingkup wewenangnya yang disebutkan dalam Pasal 3 Ayat 1 huruf c UU Polri," kata dia.

3. Petitum permohonan

Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Dalam petitumnya, pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan frasa “dan badan usaha di bidang jasa pengamanan” dan “pengaturan mengenai pengamanan swakarsa merupakan kewenangan Kapolri” sebagaimana pada penjelasan Pasal 3 Ayat 1 huruf c UU Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Pemohon ingin MK memaknai pasal tersebut menjadi: "Yang dimaksud dengan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa adalah suatu bentuk pengamanan yang diadakan atas kemauan, kesadaran, dan kepentingan masyarakat sendiri yang kemudian memperoleh pengukuhan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, seperti satuan pengamanan lingkungan. Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa memiliki kewenangan kepolisian terbatas dalam lingkungan kuasa tempat (teritoir gebied/ruimte gebied) meliputi lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, lingkungan pendidikan. Contohnya adalah satuan pengamanan lingkungan di pemukiman, satuan pengamanan pada kawasan perkantoran atau satuan pengamanan pada pertokoan.”

Perkara ini disidangkan Majelis Panel Hakim yang dipimpin Hakim MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim MK Ridwan Mansyur dan Hakim MK Arsul Sani. Dalam sesi penasihatan hakim konstitusi, Arsul menyoroti KTA milik pemohon yang sudah habis masa berlakunya pada 2021. Namun, Syamsul mengaku masih melakukan pekerjaan sebagai satpam. Arsul mengatakan, profesi itu penting untuk ditegaskan pemohon karena berkaitan dengan kedudukan hukum atau legal standing dalam permohonan ini.

“Karena itu sedikit banyak akan menentukan apakah Pak Jahidin bukan sebagai advokat tetapi sebagai pemohon lah yang memiliki legal standing atau tidak. Jadi menurut saya perlu juga dilampirkan (bukti profesi satpam),” kata Arsul.

Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan, pemohon dapat memperbaiki permohonan dalam waktu 14 hari. Berkas perbaikan permohonan harus diterima MK paling lambat pada Selasa, 11 November 2025 pukul 12.00 WIB.

Editorial Team