Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Dalam petitumnya, pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan frasa “dan badan usaha di bidang jasa pengamanan” dan “pengaturan mengenai pengamanan swakarsa merupakan kewenangan Kapolri” sebagaimana pada penjelasan Pasal 3 Ayat 1 huruf c UU Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pemohon ingin MK memaknai pasal tersebut menjadi: "Yang dimaksud dengan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa adalah suatu bentuk pengamanan yang diadakan atas kemauan, kesadaran, dan kepentingan masyarakat sendiri yang kemudian memperoleh pengukuhan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, seperti satuan pengamanan lingkungan. Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa memiliki kewenangan kepolisian terbatas dalam lingkungan kuasa tempat (teritoir gebied/ruimte gebied) meliputi lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, lingkungan pendidikan. Contohnya adalah satuan pengamanan lingkungan di pemukiman, satuan pengamanan pada kawasan perkantoran atau satuan pengamanan pada pertokoan.”
Perkara ini disidangkan Majelis Panel Hakim yang dipimpin Hakim MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim MK Ridwan Mansyur dan Hakim MK Arsul Sani. Dalam sesi penasihatan hakim konstitusi, Arsul menyoroti KTA milik pemohon yang sudah habis masa berlakunya pada 2021. Namun, Syamsul mengaku masih melakukan pekerjaan sebagai satpam. Arsul mengatakan, profesi itu penting untuk ditegaskan pemohon karena berkaitan dengan kedudukan hukum atau legal standing dalam permohonan ini.
“Karena itu sedikit banyak akan menentukan apakah Pak Jahidin bukan sebagai advokat tetapi sebagai pemohon lah yang memiliki legal standing atau tidak. Jadi menurut saya perlu juga dilampirkan (bukti profesi satpam),” kata Arsul.
Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan, pemohon dapat memperbaiki permohonan dalam waktu 14 hari. Berkas perbaikan permohonan harus diterima MK paling lambat pada Selasa, 11 November 2025 pukul 12.00 WIB.