Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi hukum dan undang-undang (IDN Times/Sukma Shakti)

Jakarta, IDN Times - RUU yang membahas Perubahan UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan masih dalam tahap harmonisasi. Dalam perkembangan pembahasannya, ada sejumlah pasal yang masih menjadi sorotan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.

Salah satunya pada pasal 24 ayat 3 yang berbunyi, "Jaksa Agung Muda dapat diangkat dari luar lingkungan Kejaksaan dengan syarat mempunyai keahlian tertentu."

1. Baleg minta pasal 24 ayat tiga direvisi

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS) Ali Mukartono bersiap mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (2/7/2020). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Anggota Baleg Nurul Arifin, mengusulkan kepada Komisi III untuk merevisi pasal 24 ayat 3 dalam pembahasan RUU tentang Perubahan UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan.

“Buat saya, sebagai orang yang bukan jaksa, tapi saya melihat dari perspektif umum, begitu. Ini sesuatu yang mungkin juga bisa menyakiti para pejabat karier di situ," kata dia dikutip ANTARA, Jumat (18/9/2020).

2. Baleg pertanyakan kuota lowongan jaksa muda

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Ali Mukartono (tengah) memberikan keterangan pers di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (8/9/2020) (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Menurut Nurul, tidak seharusnya RUU Kejaksaan membuka lowongan kerja untuk orang di luar Kejaksaan. Sebab, Kejaksaan memiliki pegawai karier internal. Ia juga menanyakan apakah memang ada kuota yang diberikan Kejaksaan untuk seseorang dari luar pejabat karier menduduki posisi sebagai jaksa agung muda.

“Ataukah memang ada kuota untuk yang di luar seperti misalnya pengangkatan duta besar, atau sebagainya, apakah seperti itu?,” ucap anggota Komisi I DPR RI itu.

3. UU Kejaksaan belum mengatur status kepegawaian jaksa

Instagram.com/na_nurularifin

Selain itu, kata dia, UU Kejaksaan belum memiliki pengaturan tentang status kepegawaian bagi para jaksa. Ia menilai ketiadaan pengaturan kepegawaian dalam UU Kejaksaan, maka status pegawai Kejaksaan akan sangat tidak jelas, dan dia mengusulkan untuk dimasukkan pengaturan kepegawaian dalam revisi UU Kejaksaan yang diusulkan oleh Komisi III DPR.

Terlebih, untuk menjadi jaksa harus lulus lembaga pendidikan khusus jaksa di lembaga pendidikan dan pelatihan Kejaksaan (pasal 9 ayat 2 UU 16/2004). Sementara, ketentuan syarat Jaksa untuk dapat diangkat adalah PNS dicabut dengan revisi UU Kejaksaan.

Ia mengatakan kalau pencabutan ketentuan terkait status PNS itu dilakukan, berarti nanti tidak ada lagi pengaturan kepegawaian bagi jaksa.

“Jadi dia ASN bukan, di mana-mana bukan, dia sangat mandiri, independen, terus ada di bawah kekuasaan siapa, begitu? Itu statusnya sebagai apa? ini menurut saya sangat istimewa sekali," kata dia.

4. Kejanggalan dalam frasa tindak pidana

ilustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Dalam kesempatan itu, politisi Partai Golkar itu juga bertanya, mengapa frasa ‘diduga melakukan tindak pidana’ ingin dihapuskan pengusul dari pasal 8 ayat 5 RUU Kejaksaan.

“Ini kan seksi juga nih. Kenapa? Ini mungkin bisa jadi catatan teman-teman (Komisi III) juga," kata dia.

Editorial Team